Cerpen: "Jaring-Jaring Merah" karya Helvy Tiana Rosa
Photo by Tim Marshall on Unsplash |
Apakah
kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku:
Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara.
Ya,
sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang
mengikutiku saat ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam
liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup
itu.
Dan kini hari telah
semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari
Seurueke, menuju Buket
Tangkurak,
bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, tetapi
langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah
yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.
“Ugh!”
Aku
tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan
mengorek-ngorek sesuatu, dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia.
Mereka menatapku seolah aku akan berteriak kengerian.
Ngeri?
Oi, tahukah
anjing-anjing buduk itu, aku melihat tiga sampai tujuh mayat sehari mengambang
di sungai dekat rumahku! Aku juga pernah melihat Yunus Burong ditebas lehernya
dan kepalanya dipertontonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang-orang
ditembak di atas sebuah truk kuning. Darah mereka muncrat ke mana-mana. Aku
melihat tetanggaku Rohani ditelanjangi, diperkosa beramai-ramai, sebelum rumah
dan suaminya dibakar. Aku melihat saat Geuchik Harun
diikat pada sebuah pohon dan ditembak berulangkali. Aku melihat semua itu! Ya,
semuanya. Juga saat mereka membantai … keluargaku, tanpa alasan.
Ffffffhuuih, kutarik napas
panjang. Jangan menangis lagi, Inong! Kering airmatamu nanti. Meski lelah,
lebih baik meniru anjing-anjing itu.
Aku
merangkak dan maju perlahan. Dengan tangan kosong kuraup gundukan tanah merah
di hadapanku. Terus tanpa henti kugunakan kedua cakar tangan ini. Keringatku
mengucur deras, wajah dan badanku terkena serpihan tanah merah. Sedikit pun
tak kuhiraukan bau bangkai manusia yang menyengat hidung.
Tiba-tiba tanganku
meraba sesuatu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Banyak tulang.
Cakarku terus menggali. Kutemukan beberapa tengkorak, lalu remah-remah daging
manusia. Ah, di mana? Di mana tangan kurus Mak?
Mana jari manis dengan cincin khas itu? Juga cincin tembaga berbatu hijau dan
arloji tua yang dikenakan ayah saat orang-orang bersenjata itu membawanya dalam
keadaan luka parah. Di mana? Di mana tangan-tangan mereka? Di mana
tulang-tulang mereka di tanam? Di mana wajah tampan Hamzah? Yang mana
tengkoraknya?
Sekujur
tubuhku gemetar menahan buncahan duka. Aku menggali, terus menggali. Hingga
aku semakin lemas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang
kukasihi, yang beberapa waktu lalu digiring ke bukit ini.
Sssssssttt!
Tiba-tiba,
di antara suara serangga malam, kupingku mendengar langkah-langkah orang.
Sepatu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka menuju ke
arahku!
Aku
harus menyanyi. Ya, menyanyi nyaring, dengan iringan dawai kepedihan dari
sanubari sendiri.
“Perempuan
gila itu!” suara seseorang gusar.
“Sayang,
dulu ia cantik…,” ujar yang lain.
“Ya,
juga sangat muda. Ah, sudahlah, biarkan saja,” kata yang ke tiga. “Ia tak
berbahaya. Hanya tertawa dan menangis. ”
Aku pura-pura tidak
mendengar perkataan si loreng-loreng itu. Mereka gila karena mengira aku gila.
Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku bernyanyi bersama bulan,
awan dan udara malam. Bersama desir angin, burung hantu dan lolong anjing
hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami menyanyi, kami
menari bungong
jeumpa.
Lalu aku tersenyum malu, saat Hamzah yang telah meminangku, melintas di depan
rumah dengan sepedanya. Dahulu. Ya, dahulu….
***
“Inong….”
Aku
menggeliat. Cahaya mentari masuk dari celah-celah bilik. Hangat. Ah, di mana
aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…,ya, aku di rumah. Aku bangkit,
mencoba duduk.
“Dari mana, Inong? Aku
mencarimu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di
tepi jalan ke Buket
Tangkurak, subuh
tadi.”
Kutatap seraut wajah
dalam kherudoung putih di
hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut membelai kepalaku.
“Aku
cuma jalan-jalan. Aku tidak mengganggu orang,’ jawabku sekenanya.
“Aku tahu. Kau anak
baik. Kau tak akan mengganggu siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau
bahkan ke rumoh
geudong lagi.
Berbahaya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sendirian,” kata
Cut Dini sambil memberiku minum.
Kugaruk-garuk kepalaku. “Therimoung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.
Cut
Dini. Ia sangat peduli. Matanya pun selalu menatapku penuh pancaran kasih.
Aku
kembali merebahkan badan di atas dipan. Sebenarnya aku tak tahu banyak tentang
Cut Dini. Aku belum begitu lama mengenalnya. Orang-orang bilang ia anggota …apa
itu … LSM? Juga aktivis masjid. Ia kembali ke Aceh setelah tamat kuliah di
Jakarta. Dan … cuma dia, di antara para tetangga, yang sudi berteman denganku.
Ia memberiku makan, memperhatikanku, menceritakan banyak hal. Aku senang
sekali.
Dulu,
setelah keluargaku dibantai dan aku dicemari beramai-ramai, aku seperti
terperosok dalam kubangan lumpur yang dalam. Sekuat tenaga kucoba untuk
muncul, menggapai-gapai permukaan. Namun tiada tepi. Aku tak bisa
bangkit, bahkan menyentuh apa pun, kecuali semua yang bernama kepahitan.
Aku memakan dan meminum nyeri setiap hari. Sampai aku bertemu Cut Dini
dan bisa menjadi burung. Segalanya terasa lebih ringan.
Tetapi
tetap saja aku senang berteriak-teriak. Aku melempari atau memukul
orang-orang yang lewat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan
memasungku. Kata mereka aku gila! Hah, dasar orang-orang gila! Cut Dini-lah
yang melarang. Cut Dini juga yang mengingatkanku untuk mandi dan makan. Ia
menyisir rambutku, mengajakku ke dokter, ke pengajian, atau sekedar
jalan-jalan.
“Baju
yang koyak itu jangan dipakai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.
“Aku
suka,” kataku pendek. “Ini baju yang dijahitkan Mak. Aku memakainya ketika
orang-orang jahat itu datang.”
“Itu
baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menyakitimu lagi,”
katanya pelan.
Kupandang
baju ungu muda di tanganku. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat
perut, di belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah kering di sana.
“Aku
ingin memakainya,” lirihku. “Apa aku gila?” tanyaku.
Cut
Dini menatap bola mataku dalam. “Menurutmu?”
Aku
menggeleng kuat-kuat. Menggaruk-garuk kepalaku.
“Kau
sakit. Kau sangat terpukul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia menggigit bibirnya
sesaat. Lalu dengan cekatan membungkus baju itu dengan koran.
Aku
mengangguk-angguk. Terus mengangguk-angguk, sambil menggoyang-goyangkan kedua
kakiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.
“Sudahlah.”
Lalu
seperti biasanya Cut Dini mengambil Al Quran mungilnya dan membacanya dengan
syahdu. Suaranya kadang berubah. Aku seperti mendengar Hamzah mengaji—lewat pengeras
suara—di musala.
Ah,
meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar bacaan Al Quran.
***
Siang
itu aku sedang menjadi burung. Aku terbang tinggi dan kadang menukik seketika.
Aku hinggap di ranting-ranting pohon belakang dan mematuki buah-buah di sana.
Huh, semuanya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja
topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…ha…ha, aku tertawa gelak-gelak.
“Siapa
kalian?” tiba-tiba kudengar suara Cut Dini bergetar, di ruang tamu yang
merangkap kamar tidurku.
Aku
terbang dan hinggap pada meja kusam di samping rumah, lalu mengintip ke dalam
lewat jendela yang rapuh. Dua lelaki tegap dengan rambut cepak menyodorkan
sesuatu pada Cut Dini.
“Kami
orang baik-baik. Kami hanya ingin memberikan sumbangan sebesar lima ratus ribu
rupiah pada Inong.“
Aku
nyengir. Lima ratus ribu? Horeeee! Apa bisa buat beli sayap?
“Kami
minta ia tidak mengatakan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda sebagai
walinya menandatangani kertas bermaterai ini.”
Cut
Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Mengapa? Kugerak-gerakkan
kepalaku menatap mimiknya, lebih lekat dari jendela.
“Tidak!! Bagaimana
dengan pemerkosaan dan penyiksaan selama ini, penjagalan di rumoh geudong, mayat-mayat yang
berserakan di Buket
Tangkurak,
Jembatan Kuning, Sungai Tamiang, Cot Panglima, Hutan Krueng Campli…dan di
mana-mana!” suara Cut Dini meinggi. “Lalu perkampungan tiga ribu janda,
anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!”
Kedua
orang itu tampak gugup dan sesaat saling berpandangan. “Kami hanya
menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga
keamanan masyarakat.”
“Oh ya?” nada Cut Dini
sinis. “Kenyataannya masyarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang
terpaksa menjadi cuak, memata-matai dan menganggap
teman sendiri sebagai pengikut Hasan Tiro dari Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi
sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”
“Sudahlah,
ambil saja uang ini buat anda. Lupakan saja gadis gila itu.”
Apa? Gadis gila??
Kukepakkan sayapku dan menukik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka dengan
apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali
menimpuki mereka dengan panci dan penggorengan. Mereka berteriak-teriak seperti
anak kecil dan berebutan keluar rumah. Pasti itu ayah orang yang memperkosaku!
Pasti ia teman para pembunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka
menakut-nakuti orang! Paling tidak mereka cuak!
Aku benci cuak!
“Inong….”
Aku
berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya
titik di kejauhan.
“Masya
Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut.
“Benahi yang
rapi lagi, ya. Aku mau shalat Lohor dulu,” katanya.
“Mengapa
aku tak pernah diajak shalat?” protesku. “ Dulu aku shalat bersama keluargaku,
sebelum aku bisa jadi burung,” tukasku.
“Jangan
menjadi burung, bila ingin salat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.
***
“Keluar,
Zakariaaa! Keluar! Atau kami bakar rumah ini!!”
Aku
terbangun dan mengucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-gedor.
Ayah berjalan ke arah pintu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.
Ketika
pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret keluar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa
orang mengangkat Mak dan membawanya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa
tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus
berdzikir. Dzikir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.
“Ini
pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki berseragam. Kurasa ia
seorang pemimpin. “Zakaria dan keluarganya membantu anak buah Hasan Tiro
sejak lama!”
Warga
desa menunduk. Mereka tak mampu membela kami. Dari kejauhan kulihat api
berkobar. Puluhan orang ini telah membakar beberapa rumah!
“Jangan
ada yang menunduk!”
Aku
gemetar mendengar bentakan itu.
“Ayo lihat mereka.
Kalian sama dengan warga Mane … bekerjasama dengan
GPK!” suaranya lagi.
“Kami
bukan GPK!”suara Ma’e.
“Lepaskan
mereka. Kalian salah sasaran!” Ya Allah, itu suara Hamzah!
“Angkut
orang yang bicara itu!”
Aku
melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, lalu…ia diinjak-injak! Dan
diseret pergi. Airmataku menderas.
“Siapa
lagi yang mau membela?” tantang lelaki penyiksa itu pongah.
“Kami tidak membela,
mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria hanya seorang muadzin. Jiibandum ureung biasa.” Samar-samar kulihat
kepala desa kami itu diikat pada sebatang pohon.
Serentetan tembakan
segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku!
Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu
Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.
“Bawa
mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!”
Aku
meronta, menendang, menggigit, mencakar, hingga aku letih sendiri. Dan aku tak
ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat
merejam-rejam tubuhku!
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”aku
berteriak sekuat-kuatnya.
“Astaghfirullah,
Inong! Inong, bangun!” dua tangan menggoncang-goncang badanku.
Airmataku
menganak sungai, tetapi aku tak bisa bangun, sebab aku berada di dalam jaring!
Banyak orang-orang sepertiku di sini, di dalam jaring-jaring merah ini.
“Inong, istighfar….”
Tangan-tangan raksasa
itu mengayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini berjatuhan ke
sana kemari. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloooooong! Di mana
sayapku? Di mana? Di mana tangan Mak dengan cincin khas di jari manisnya? Aku
ingin menggenggamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e?
Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?
Tangan-tangan
raksasa itu menggerakkan jaring ke sana kemari. Aku jatuh lagi. Merah. Silau.
Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, terkelupas
dan berdarah. Aku menjerit-jerit dalam perangkap. Di mana sayapku? Aku ingin
terbang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di
tanah kebanggaanku hanya tersisa nestapa!!
Tak
ada yang mendengar. Sebuah pelukan yang sangat erat kurasakan. Lalu airmata
seseorang yang menetes-netes dan bercampur dengan aliran air di pipiku.
“Allah tak akan
membiarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sembuh, Inong! Semua sudah
berlalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Tegar, Inong! Tegar! Laa haula walaa quwwata illa
billah….”
Kabur.
Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus dengan kerudung putih itu. Ia mengusap
airmataku.
Lalu
tak jauh di hadapanku, kulihat beberapa orang. Di antaranya berseragam.
Tiba-tiba takutku naik lagi ke ubun-ubun. Aku menggigil dan mendekap Cut Dini
erat-erat.
“Ia
hanya satu dari ribuan korban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami keadilan.
Bapak sudah lihat sendiri. Oknum-oknum itu menjarah segalanya dari perempuan
ini!”
Takut-takut
kuintip lelaki tegap yang sedang menatapku ini. Apakah ia membawa jaring-jaring
untuk menangkapku lagi?
“Pergiiiii!
Pergiiii semuaaaa!” teriakku. “Pergiiiiiiii!” aku menjerit sekuat-kuatnya. "Pergiiiiii!” Aku menceracau. Sekujur badanku bergetar, terasa
berputar. Orang-orang ini tersentak, menatapku kasihan. Hah, apa
peduliku?! Aku ingin berteriak, mengamuk, memporakporandakan apa dan siapa pun
yang ada di hadapanku! Aku…
Tiba-tiba
suaraku hilang. Aku berteriak, tak ada suara yang keluar. Aku menangis
tersedu-sedu, tak ada airmata yang mengalir. Aku mengamuk panik, tetapi
kaku. Aku mencari bunyi, mencari bening, mencari gerak. Tak ada apa pun. Cuma
luka nganga.
“Inong…,
mereka akan membantu kita….”
Aku
terkapar kembali. Menggelepar. Berdarah dalam jaring.
***
Cipayung, Juli 1998
Majalah Horison, April, 1999
Cerpen ini dinobatkan
sebagai salah satu cerpen terbaik Horison selama sepuluh tahun terakhir
(1990-2000).
Dari Buku Lelaki Kabut Dan
Boneka, Syaamil 2002
Referensi:
- Data yang
diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.
- Gatra,
Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).
- Buletin
Kontras no 1/Agustus 1998.
Daftar istilah:
- Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak
- Geuchik :
Kepala Desa
- Cuak :
orang yang jadi mata-mata tentara
- Ma’e :
panggilan untuk Ismail
- Mak : Mak
- Rumoh
geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)
- Mane :
nama desa di Pidie
- Ureung-ureung
: orang-orang
- That :
sekali
- Ulon hana
teupheu sapheu : saya hanya orang biasa
- Therimoung
ghaseh : terima kasih
- Kherudoung
: kerudung
Kita harus tetap berani mempertahankan diri jika kita benar walaupun nyawa taruhannya.
BalasHapusDalam menghadapi cobaan kita harus tegar dan berserah diri kepada Allah.
Cut Dini.
Oke Ridho, terima kasih.
HapusCerpen ini menceritakan tentang Inong, korban kebiadaban sebuah peristiwa yang terjadi 4 tahun yang lalu. Seluruh keluarganya di bunuh, semua yang membela keluarganya tak berujung manis. Ia satu satunya yang berhasil bertahan hidup dari kekejaman masa lalu. Semua orang menganggapnya gila karena ia masih hidup dalam bayang bayang masa lalu. Namun, tidak dengan Cut Dini. Ia membantu dan merawat Inong dengan tulus, berharap Inong bisa sembuh dan mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu. (tambahan, Inong bisa berubah menjadi burung?)
BalasHapusInong tidak berubah menjadi burung, itu halusinasi dia sebagai orang "gila" atau sebagai korban trauma, dia tidak benar-benar menjadi burung, itu hanya perumpamaan, atau kiasan dari kata "bebas" misalnya karena burung punya sayap, sementara Inong kan manusia, dan dia berhalusinasi ingin seperti burung itu karena dia terkurung di jaring-jaring merah, dia ingin lepas terbang seperti burung.
HapusIni ulasan siapa ya? Alissa or siapa? Tak ada keterangan nama?
bukan saya mr
Hapusini Aul mr
HapusOke Aul, terima kasih yaaaa...
HapusIya Alissa, gpp, semangat yaaa πͺπ»πͺπ»πͺπ»
Hidup itu tidak hanya tentang sebuah rasa sakit dan juga carikan luka . Kita selalu berfikir bahwa masa lalu adalah hal yg sangat mengancam masa depan kita. Namun itu tidaklah benar adanya. Kita boleh saja bersedih, namun jangan sampai berlarut-larut dalam kesedihan. Lupakan masa lalu kelam yang bisa membuat masa depan kita menjadi semakin suram. Dengan mencoba hal baru, memperbaiki diri,kita bisa melewati segalanya. Perbanyak beribadah agar hati tetap tenang dan tentram. (-Dien Fitria NR)
BalasHapusOke Dien, terima kasih ulasannya. Sangat inspiratif.
HapusTerpuruk, trauma, depresi dan semacamnya, mungkin untuk beberapa orang itu hal yang wajar, krna pertahanan mental setiap orang beda2. Tetapi kita tidak boleh berlama lama jatuh dalam keterpurukan, karena itu hanya membuangbuang masa, dan semuanya hanya sia - sia. Tapi apabila kita punya pertahanan mental yang kuat, mungkin kita tidak mudah untuk down. Beribadah, berdzikir pun termasuk pertahanan mental agar kita selalu mengingat Allah, dan percaya akan qadha dan qadar-Nya dengan memahami hikmah dibalik kejadian/peristiwa.
BalasHapusMenurut saya, tokoh yang mempunyai andil besar adalah Cut Dini. Karena ia adalah sosok yang baik, paling bisa mengerti keadaan inong,mengerti bagaimana cara menghadapi inong dengan kesabarannya, dan dia satu2nya orang yang selalu ada ketika inong terpuruk.
Ulasannya Feyza mantap! Paling lengkap, ada pesan dan tokoh yang memiliki andil besar beserta alasannya. Mantap bana!
HapusBeing broke is part of journey,
BalasHapusStaying broke is a f*cking choice
-Muhammad Owner Rahmanifal-
Owner pakai bahasa Indonesia πππ
HapusOrang-orang berpakaian loreng itu telah melakukan kekejaman sehingga Inong mendapat trauma dan menjadi gila. Namun,Cut Dini malah berbaik hati merawat Inong dan berasaha dengan sekuat mental dan tenaga untuk menyembuhkan Inong dari trauma 4 tahun silam
BalasHapus-Muhammad Owner Rahmanifal-
Oke Owner makasih yaaa ππ»ππ»ππ»
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAlissa gimana, udah bisa blm??? Mudah-mudahan udah bisa ya di-posting comment-nya, semangat πͺπ»πͺπ»πͺπ»
Hapusamanat yg saya dapat dalam cerpen ini ialah; kita harus terap tegar dalam menghadapi segala cobaan, tidak peduli dgn tanggapan2 keji dari orang lain seperti tokoh aku (inong) yg disangka gila oleh masyarakat, padahal sesungguhnya dia hanya trauma dan dendam dengan apa yang terjadi oleh keluarganya. untungnya, inong dapat bertemu dengan cut dini, yg mempunyai andil besar dalam cerpen ini. hanya dialah yg ada untuk inong, yang masih peduli dan memberikan kepercayaan dan kasih sayangnya dengan tulus. satu satunya orang yang bisa membuat inong menjadi ‘burung’.
BalasHapusMantap. Ulasannya oke, lengkap. Terima kasih Alissa.
Hapus