Sabar, Rajin Shalat, dan Tekun Beribadah merupakan Bagian dari Tujuan Pendidikan dalam Islam
MODERNITAS PADA AWAL abad 21 ini telah menunjukkan batang hidungnya sebagai suatu kekuatan baru yang penuh dengan kejutan dan tantangan. Kejutan yang menghadapkan kita pada kenyataan akan kemajuan ilmu dan teknologi serta informasi yang super cepat lagi fleksibel. Dan tantangan yang dilahirkannya adalah globalitas, di mana batas antarnegara di dunia sudah dianggap tak berarti lagi, dan itu mengindikasikan, bahwa penetrasi budaya asing telah mendapatkan celahnya yang strategis. Dengan demikian, filterisasi dari suatu bangsa harus ditingkatkan. Salah satu cara untuk meningkatkannya adalah, dengan memperkokoh fondasi-fondasi setiap insan melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran yang sangat urgen untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan setiap warga negara agar tetap dalam koridor sehingga mentalitas, akhlak, dan kepribadiannya menunjukkan kemantapan, yang berarti mencerminkan keutuhan identitas bangsa. Maka tak heran, jika pendidikan merupakan suatu tolok ukur paling tinggi tingkat akurasinya dalam melihat kemajuan dan tumbuh kembangnya suatu bangsa.
Prisai yang kuat akan menjadikan pendidikan lebih jelas arahnya, dengan begitu, prisai pendidikan haruslah memanifestasikan asas-asas suatu bangsa yang berbudi pekerti serta menjunjung tinggi nilai-nilai universal yang lebih berorientasi pada kemajuan yang lebih baik. Prisai yang dimaksud adalah tujuan. Bahwa tujuan pendidikan perlu diprioritaskan pencanangannya agar haluan dalam dunia didik-mendidik lebih konkret, sehingga hasil yang sesuai dengan apa yang sudah digariskan dapat dicapai.
Sebagai negara yang berpenghuni mayoritas muslim terbesar di dunia, serta merta mempengaruhi roda tujuan pendidikan di tanah air. Dengan kata lain, seperti yang dilansir Hasbullah, bahwa “pendidikan Islam di Indonesia sebagai subsistem pendidikan nasional, secara implisit akan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat kita pahami dari hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.”[1] Dalam hal ini, bangsa Indonesia, dengan tegas mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “… mencerdaskan kehidupan bangsa, …” seperti yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat. Lebih jelasnya mengenai tujuan pendidikan nasional, berikut kutipannya.
“Mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”[2]
Seiring perkembangan zaman dan persepsi masyarakat yang dinamis, maka tuntutan untuk merevisi tujuan pendidikan nasional adalah suatu keniscayaan. Maka lahirlah Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, dan salah satu revisi paling pentingnya adalah, menggabungkan dua pasal, yaitu pasal 3 tentang fungsi pendidikan dan pasal 4 tentang tujuan pendidikan menjadi satu pasal saja, yaitu pasal 3, yang berbunyi.
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[3]
Teranglah sekarang kepada kita, bahwa tujuan pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional, bila diintegrasikan, menghasilkan dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan, adalah (1) dimensi transendental (lebih dari sekedar ukhrawi) yang berupa ketakwaan dan keimanan, dan (2) dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarananya, seperti pengetahuan, keterampilan, intelektualitas, dll.[4]
Dalam makalah ini, tujuan pendidikan Islam akan diulas berdasarkan nash alQuran yang relevan, dengan menitikberatkan pada Quran Surat alHajj ayat 11 dan 41, serta Quran Surat alDzariat ayat 56. Dengan pokok bahasan, tujuan pendidikan Islam yang berorientasi pada kesabaran, rajin shalat, dan tekun beribadah.
PEMBAHASAN
Pertama: Terjemahan Quran Surat alHajj ayat 11
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah dengan berada di tepi. Maka jika dia memperoleh kebajikan, dia tetap dalam keadaan itu. Dan jika dia ditimpa suatu bencana, berbaliklah dia ke belakang. Merugilah dia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”
Penjelasan Ayat
Ayat di atas berbicara tentang kelompok lain dari manusia yang memiliki sifat munafik atau yang sangat lemah imannya. M. Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut dengan memparafrasenya sebagai berikut. Bahwa “ayat ini menyatakan: Dan ada pula di antara manusia yang belum atau tidak kuat imannya yang menyembah Allah dengan berada di tepi; tidak pernah merasa tenang dan mantap jiwanya, serta selalu goncang, maka jika ia atau keluarganya memperoleh kebajikan yakni keuntungan duniawi, tenanglah ia yakin tetaplah ia dalam keadaannya itu, dan jika ia atau keluarganya ditimpa oleh suatu ujian berupa kesulitan, bencana atau hal-hal yang tidak menguntungkan dunianya, berbaliklah ia tersungkur jatuh atas wajahnya yakin ia mengalami kecelakaan akibat ulahnya itu. Rugilah ia di dunia karena dengan demikan ia tidak memperoleh apa yang diharapkannya bahkan kehilangan ketenangan dan rugi pula ia di akhirat karena sikapnya itu mengakibatkan dia tidak memperoleh anugerah Allah bahkan mengakibatkan ia disiksa. Yang demikian itu yakni kerugian ganda itu adalah kerugian besar yang nyata.”[5]
Lebih lanjut, M. Quraish Shihab menafsirkan ‘in qalaba ‘ala wajhihi dalam arti ia terbalik (tersungkur jatuh) atas wajahnya, sejalan dengan keberadaan yang bersangkutan di pinggir atau tempat yang tinggi. Ajaran islam digambarkan sebagai suatu jalan yang tinggi dan lebar lagi memiliki sifat moderasi atau pertengahan. Yang bersangkutan enggan berada di tengah, tetapi memilih daerah pinggiran, sehingga begitu terjadi cobaan, dia kehilangan keseimbangan dan akhirnya terjatuh ke bawah dan wajahnyalah yang pertama menyentuh tanah. Banyak ulama memahami penggalan ayat ini dalam arti dia berbalik ke belakang, meninggalkan tempatnya menuju tempat yang diduganya baik dan aman.[6]
Korelasi antara Ayat dan Tujuan Pendidikan (Sabar)
Shabara adalah kata Arab yang merupakan akar kata “sabar” dalam bahasa Indonesia. Shabara ‘ala berarti tabah hati. Secara umum, di Indonesia, kata ini mengandung dua pengertian, yaitu (1) tahan menghadapi cobaan seperti tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, dan tidak lekas patah hati. Dalam pengertian ini, sabar berekuevalensi dengan “tabah”. Dan (2) tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu-buru. Pernyataan ini, secara tersurat, sudah menjadi pengetahuan umum yang dapat dipahami oleh siapapun juga.
Bila melihat ayat di atas, sepertinya yang berkenaan dengan sabar tidak ada sama sekali. Indikasi “sabar” dalam ayat 11 surat alHajj dapat kita telusuri dari asbabu al nuzul ayat tersebut. Dalam suatu riwayat, seperti yang dikutip M. Quraish Shihab, bahwa ayat ini turun menyangkut beberapa orang yang pergi berhijrah ke Madinah. Bila di sana istrinya melahirkan anak lelaki, atau kudanya melahirkan, dia berkata, “Ini (yakni agama Islam) adalah agama yang baik,” dan bila sebaliknya yang terjadi, dia berkata, “Ini adalah agama yang buruk.”[7] Komentar demikian, sesungguhnya tidaklah akan terjadi, jika kesabaran menjadi perisai dalam hidup mereka. Sesungguhnya kelahiran anak laki-laki atau perempuan, berkembang dan tidak berkembangnya ternak, bukan disebabkan oleh agama apa yang manusia anut, melainkan itu murni hak fetonya Allah. Jika mereka sabar, diiringi dengan doa dan usaha, maka apa yang mereka harapkan akan dengan sendirinya Allah wujudkan. Hal tersebut, karena Allah, telah berfirman melalui hadis kudsi, bahwa “Aku sesuai dengan perasangka hambaKu.”
Sabar menjadi kunci utama pengendalian diri. Karena itu, ia harus dipelajari. Sabar tidak serta merta dapat begitu saja hinggap pada diri seseorang. Mula-mula, manusia harus belajar untuk menahan amarah ketika dirinya diejek sesamanya, atau ketika keinginannya belum terkabul dia harus dapat mengatakan pada dirinya bahwa Allah pasti akan mewujudkan hal yang diinginkannya itu. Mereka yang berhasil sabar, akan mampu menangkap esensi sabar, tengok saja misalnya Abu Zakariya Anshari, baginya, “sabar merupakan kemampuan mengendalikan diri terhadap sesuatu yang terjadi, baik yang disenangi ataupun yang dibenci.”[8] Sedangkan M. Asjwadie Sjukur, melihat sabar ini pada dua sisi, yaitu (1) pada hal yang disenangi nafsu dan (2) pada hal yang tidak disenangi nafsu. Pada pemerian kedua ini, ada tiga macam. Pertama, dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah; kedua, dalam menghadapi kemaksiatan manusia; dan ketiga, dalam menghadapi segala yang tidak ada hubungannya dengan usaha manusia.[9]
Jadi, sabar merupakan implementasi dari kesadaran diri tertinggi manusia, karena dengan sabar, syukur menjadi ekspresi lisan dan sikap optimis menjadi dominan dalam diri. Sabar, karena tak serta begitu saja ada pada setiap manusia, harus dipelajari. Dengan begitu, sabar otomatis menjadi salah satu prioritas dalam tujuan pembelajaran, tujuan pendidikan dalam Islam. Diharapkan, setelah manusia mempelajari sabar dengan cara melihat orang lain terhadap sabar, setiap kita menjadi penyabar.
Kedua: Terjemahan Quran Surat alHajj ayat 41
“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar. Dan kepada Allahlah kembali segala urusan.”
Penjelasan Ayat
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengemukakan, “ayat ini menyatakan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang jika Kami anugerahkan kepada kemenangan dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola suatu wilayah dalam keadaan mereka merdeka dan berdaulat niscaya mereka yakni masyarakt itu melaksanakan shalat secara sempurna rukun, syarat dan sunnah-sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadar waktu, sasaran dan cara penyaluran yang ditetapkan Allah, serta mereka menyuruh anggota-anggota masyarakatnya agar berbuat yang makruf, yakni nilai-nilai luhur serta adat istiadat yang diakui baik dalam masyarakat itu, lagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiah dan mereka mencegah dari yang mungkar; yakni yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat, dan kepada Allahlah kembali segala urusan. Dialah yang memenangkan siapa yang hendak dimenangkanNya dan Dia pula yang menjatuhkan kekalahan bagi siapa yang dikehendakiNya, dan Dia juga yang menentukan masa kemenangan dan kekalahan itu.”[10]
Tafsiran M. Quraish Shihab terhadap ayat tersebut melahirkan sintesis bahwa ayat di atas mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam, kapan dan di manapun, dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad Saw dan para sahabat beliau. Masyarakat itu adalah yang pemimpin-pemimpin dan anggota-anggotanya yang kolektif dinilai bertakwa, sehingga hubungan mereka dengan Allah Swt baik dan jauh dari kekejian dan kemungkaran, sebagaimana dicerminkan oleh sikap mereka yang selalu melaksanakan shalat dan harmonis pula hubungan masyarakat, termasuk antarkaum berpunya dan kaum lemah yang dicerminkan oleh ayat di atas dengan memunaikan zakat. Di samping itu mereka juga menegakkan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, yaitu nilai-nilai makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Pelaksanaan kedua hal tersebut menjadikan masyarakat melaksanakan kontrol sosial, sehingga mereka saling ingat-mengingatkan dalam hal kebajikan, dan saling mencegah terjadinya pelanggaran.
Relevansi antara Ayat dan Tujuan Pendidikan (Rajin Shalat)
Shalat, seperti yang sering dilakukan, merupakan aktivitas yang sifatnya rutin atau kontinu. Dari sekian banyak ibadah langsung, shalat menempati posisinya yang sangat vital. Ia merupakan ibadah ritual yang kali pertama dipertanyakan oleh Allah kelak di hari akhir, juga menjadi pembeda paling nyata antara Muslim dan kafir, yang berarti shalat adalah tiangnya agama Islam. Shalat, dengan demikian, memiliki keistimewaan yang luar biasa. Definisi shalat sendiri, secara umum, dapat kita katakan sebagai “sesuatu gerakan dan ucapan yang disertai dengan kehadiran hati kepada Allah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.”[11] Namun demikian, untuk menumbuhkembangkan cinta shalat adalah kesukaran. Harus diakui bahwa, di antara kita masih banyak yang kadang shalat kadang tidak, bolong-bolong. Itu berarti, agar kita mendirikan shalat, seperti apa yang disinggung dalam ayat tersebut, yaitu aqaamushshalaata haruslah melalui tahapan belajar. Yaitu dengan mengetahui apa itu shalat, kenapa harus shalat, apa manfaat shalat, dll.
Dengan demikian, shalat merupakan manifestasi dari tujuan pendidikan Islam, dengan dipelajarinya hal ihwal shalat, diharapkan manusia yang bersangkutan dapat mendirikan shalat secara konsisten (rajin shalat), tepat waktu, dan khusuk. Di samping itu, shalat juga merupakan gerak laten yang belakangan diketahui sebagai suatu gerakan yang menyehatkan badaniah kita.
Ketiga: Terjemahan Quran Surat alDzariyat ayat 56
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.”
Penjelasan Ayat
Ayat di atas, seperti yang dikemukakan M. Quraish Shihab, mengatakan: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia untuk satu manfaat yang kembali kepada diriKu. Aku tidak meciptakan mereka melainkan agar tujuan atau kesudahan aktivitas mereka adalah beribadah kepadaKu. Pada paparan berikutnya, M. Quraish Shihab menggarisbawahi mengapa Allah dalam ayat ini menggunakan bentuk persona pertama, yaitu “Aku”. Menurutnya, penggunaan “bentuk persona pertama (Aku), sebab penekanannya adalah beribadah kepadaNya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan bertuju kepadaNya to tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah Swt. Kemudian, M. Quraish Shihab memfokuskan terhadap penggunaan huruf lam pada kata li ya’buduun. Menurut beliau, “huruf lam pada kata li ya’buduun bukan berarti agar supaya mereka beribadah atau agar Allah disembah. Huruf lam disini adalah lam al-‘aqibah yakni yang berarti kesudahan atau dampak dan akibat sesuatu.”
Sayyid Quthub, seperti ditulis M. quraish Shihab, mengomentari ayat di atas antara lain ditegaskannya bahwa ayat itu walaupun sangat singkat namun mengandung hakikat yang besar dan agung. Manusia tidak akan berhasil dalam kehidupannya tanpa menyadari maknanya dan meyakininya, baik dalam kehidupan pribadi maupun kolektif. Ayat ini menurutnya membuka sekian banyak sisi dan aneka sudut dari makna dan tujuan. Bahwa pada hakikatnya ada tujuan tertentu dari wujud manusia dan jin, ia merupakan satu tugas. Siapa yang melaksanakannya maka ia telah mewujudkan tujuan wujunya, dan siapa yang mengabaikannya maka ia telah membatalkan hakikat wujudnya dan menjadikan ia seseorang yang tidak memiliki tugas (pekerjaan), hidupnya kosong tidak bertujuan dan berakhir dengan kehampaan.[12]
Hubungan antara Ayat dan Tujuan Pendidikan (Tekun Beribadah)
Ibadah menurut Syeikh Muhammad ‘Abduh, seperti terdapat dalam Tafsir Al-Mishbah, “adalah suatu bentuk ketundukkan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadaNya dia mengabdi. Ia juga merupakan dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada Yang Memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.” Sedangkan secara bahasa, ibadah itu sendiri artinya taat, menurut, mengikut, tunduk. Atau tunduk yang setinggi-tingginya, atau juga doa.[13]
Ibadah secara umum dibagi ke dalam dua, yaitu ibadah mahdhah (langsung) dan ibadah ghairu mahdhah (tidak langsung). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, mulai dari bentuk, kadar, atau waktunya seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan ibadah ghairu mahdah adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam ayat ini, secara jelas menyebutkan illa li ya’buduuni yang artinya melainkan supaya mereka menyembahKu. Bila sebab adanya kita adalah untuk semata beribadah kepadaNya, berarti, tujuan penciptaan asasinya adalah tujuan pendidikan kepada manusia seutuhnya. Jadi, tidak diragukan lagi, bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah agar manusia tekun beribadah sebagai mana yang diisyaratkan ayat ini.
SIMPULAN
Quran Surat alHajj ayat 11: Sabar merupakan implementasi dari kesadaran diri tertinggi manusia, karena dengan sabar, syukur menjadi ekspresi lisan dan sikap optimis menjadi dominan dalam diri. Sabar, karena tak serta begitu saja ada pada setiap manusia, harus dipelajari. Dengan begitu, sabar otomatis menjadi salah satu prioritas dalam tujuan pembelajaran, tujuan pendidikan dalam Islam. Diharapkan, setelah manusia mempelajari sabar dengan cara melihat orang lain terhadap sabar, setiap kita menjadi penyabar.
Quran Surat alHajj ayat 41: Shalat merupakan manifestasi dari tujuan pendidikan Islam, dengan dipelajarinya hal ihwal shalat, diharapkan manusia yang bersangkutan dapat mendirikan shalat secara konsisten (rajin shalat), tepat waktu, dan khusuk. Di samping itu, shalat juga merupakan gerak laten yang belakangan diketahui sebagai suatu gerakan yang menyehatkan badaniah kita.
Quran Surat alDzariyat ayat 56: Dalam ayat ini, secara jelas menyebutkan illa li ya’buduuni yang artinya melainkan supaya mereka menyembahKu. Bila sebab adanya kita adalah untuk semata beribadah kepadaNya, berarti, tujuan penciptaan asasinya adalah tujuan pendidikan kepada manusia seutuhnya. Jadi, tidak diragukan lagi, bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah agar manusia tekun beribadah sebagai mana yang diisyaratkan ayat ini.
BIBLIOGRAFI
Anwar Arifin. Memahami Paradigma Baru dalam Undang-undang Sisdiknas. Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003.
Arif Fadhillah, Islam Kaffah. Bekasi: Pilar Press dan Wiskaf, 2004.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah. Jakarta: Bulan Bintang, 1968.
Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1996.
M. Asjwadie Sjukur, Ilmu Tashawuf II. Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 2 Tahun 1989 pada Bab II pasal 4.
(Cat: Makalah ini telah dipresentasikan pada Mata Kuliah Tafsir Tarbawi.)
[1] Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 28-29.
[2] Lihat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 2 Tahun 1989 pada Bab II pasal 4. Juga dalam Hasbullah, (ibid), hlm. 28.
[3] Anwar Arifin, Memahami Paradigma Baru dalam Undang-undang Sisdiknas (Jakarta: Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, 2003), hlm. 37., dalam lampiran 1.
[4] Perihal dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan dalam tujuan pendidikan nasional ini, periksa di Hasbullah, (ibid), hlm. 29.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir AL-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 9, hlm. 19-20.
[6] Periksa di M. Quraish Shihab, (ibid), volume 9, hlm. 20.
[7] M. Quraish Shihab, (ibid), volume 9, Seperti yang diperikan imam Bukhari dari sahabat Nabi saw, yaitu Ibn ‘Abbas.
[8] Lihat M. Asjwadie Sjukur, Ilmu Tashawuf II (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), hlm. 95.
[9] Periksa di M. Asjwadie Sjukur, (ibid), hlm. 97-98.
[10] M. Quraish Shihab, (ibid), volume 9, hlm. 73.
[11] Periksa Arif Fadhillah, Islam Kaffah (Bekasi: Pilar Press dan Wiskaf, 2004), 18.
[12] Ibid. volume 13, hlm 359
[13] Lihat di Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), hlm. 7.
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini