AYAT-AYAT PEDUSUNAN (Telaah Puisi "Cipasung" Karya Acep Zamzam Noor)
...
Mengapa selalu sajak yang kutulis itu
Apabila pertanyaan-pertanyaan datang menyerbu
Selalu sajak, Tuhanku, mengapa selalu ia
Yang mampu kuberondongkan kepadaMu
Atau barangkali karena aku tahu
Engkaulah penyair itu
Yang begitu mempesonaku
Yang telah membelenggu hidup dan matiku
I
Sapardi Djoko Damono terkenal sebagai kritikus sastra masa kini, bisa dikatakan, lelaki berkacamata kelahiran Solo itu sebagai pengganti “Paus Sastra” kita, H.B. Jassin. Seorang yang karyanya—novel ataupun puisi—mendapat “coretan tangan” darinya, pastilah bukan seorang biasa. Dia dapat diidentifikasi sebagai pribadi yang patut diperhitungkan, terlebih karya yang diulas itu, pastilah ia merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa.
Ketika membaca sebuah buku yang bersampul orange, yang di atasnya tercoretkan Sihir Rendra: Permainan Makna dan tertera nama “Sapardi Djoko Damono”. Secara sengaja, disusurilah tulisan yang berjudul “Pedusunan Acep”, dan penulis benar-benar telah menemukan uraian yang memikat mengenai sebuah puisi. Begini ulasannya.
Acep Zamzam Noor memiliki kejujuran dalam mempergunakan alat-alatnya.[2] Pengalaman keagamaan dan dunia pedusunan adalah hakikat kehidupannya. Itulah sebabnya sajak ini lancar dan mengisyaratkan makna yang jauh lebih dalam dari apa yang kita dapati di permukaannya. Tema dan citraan konvensional itu digarap dengan cermat.[3] Penyair berusaha mencari berbagai cara untuk memanfaatkan alat-alat puitiknya seinsentif mungkin. Hasilnya adalah sejumlah metafor yang segar.
Seorang mantan Redaktur Pelaksana majalah Horison sekitar tahun 1970-an itu, lebih lanjut, mengungkapkan bahwa bagi petani di Cipasung, Jawa Barat, lumpur sawah adalah sajadahnya, sajadah adalah piranti untuk melaksanakan salah satu ibadah, demikian juga kerja di lumpur sawah. Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental, katanya. Dipandang dari jauh, gerak orang mencangkul di sawah mirip dengan gerak orang melakukan shalat di atas sajadah. Dengan metafor itu, dua dunia pengalaman sekaligus terungkap: kehidupan batin seorang Muslim dan kehidupan sehari-hari seorang petani.
Menilai Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup, Guru Besar ilmu kesusastraan itu mengajak kita untuk membayangkan petani yang sedang bekerja di sawah terus-menerus diawasi oleh langit yang sekaligus sumber cahaya, sementara itu Surauku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu. Bahwa dalam bekerja petani itu tetap membayangkan dan merindukan tempat beribadahnya. Isi yang terkandung dalam larik-larik itu dapat kita jumpai pula dalam ribuan atau jutaan sajak sebelumnya, tetapi cara mempergunakan citraan pedusunan untuk menyampaikan pengalaman keagamaan itulah yang harus kita catat sendiri—dari Acep. Sentuhan pengalaman keagamaan sangat terasa dengan pilihan kata yang sesuai, seperti kata kasidah dalam larik-larik Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan/Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu.
Dan, setelah mempertimbangkan larik Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini, kita, lanjut pemilik buku puisi Arloji (1998) itu, sampai pada semacam kesimpulan bahwa penyair ini ternyata berbicara tentang “kita”, tidak hanya tentang petani. Dunia pedusunan yang dikuasainya dengan baik “hanya” dipergunakannya sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman batin yang memerlukan perbandingan untuk bisa dihayati pembaca. Dunia pedusunan itu—cangkul, sawah, lumpur, ikan, pagar bambu—adalah tanda-tanda yang harus “dibaca” oleh si penerima tanda, kita.[4]
II
Uraian di atas, yang komprehensif itu, membuat Acep kagum dan berucap terima kasih kepada Sapardi Djoko Damono atas apresiasi yang ditujukan untuk puisinya. Acep sendiri tidak menyangka bahwa puisinya akan dianalisis sejauh itu. Yang jadi pertanyaan sekarang, puisi yang mana yang membuat seorang Acep Zamzam Noor begitu berterima kasih kepada Sapardi?
Jawabannya adalah Cipasung. Cipasung yang merupakan tempat kelahiran Acep, menjadi inspirasi paling mutakhir bagi pencarian jati diri puisinya. Dikatakan demikian—pencarian jati diri puisinya—karena selama beberapa tahun, ketika debut kepenulisannya dimulai, Acep selalu melakukan eksperimen-eksperimen, terutama ingin lepas dari konvensi penyair yang menjadi idolanya, yaitu Chairil Anwar dan Amir Hamzah.[5] Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa Cipasung adalah satu di antara puisi karya Acep yang paling penting. Karena puisi inilah, pria kelahiran 28 Februari 1960 itu, telah mendapatkan posisinya yang strategis di kancah perpuisian Indonesia. Berikut adalah Cipasung[6] itu.
Acep sendiri, dalam tulisannya yang berjudul “Sekitar Proses Kreatif Saya” mengungkapkan bahwa Sapardi Djoko Damono mengapresiasi puisi di atas sebagai sebuah pengalaman keagamaan yang diungkapkan lewat kehidupan pertanian. Citra-citra keagamaan seperti iman, sajadah, ibadah, pahala, surau, kasidah ditampilkan bersama-sama dengan cangkul, sawah, ladang, padi, ketam, panen, pagar, bambu, lumpur, kolam, ikan, dan petani. Menurut Sapardi,—seperti yang ditulis Acep—citra-citra keagamaan dan pedusunan dalam puisi ini mengisyaratkan makna yang jauh lebih dalam dari apa yang terdapat di permukaan.[7]
III
Ekuivalensitas Sapardi Djoko Damono dalam menginterpretasi Cipasung juga dapat kita temukan pada tulisan Tia Setiadi yang bertajuk “Religiusitas dan Erotika dalam Sajak-sajak Acep Zamzam Noor”. Katanya, bahwa Acep, lewat puisi-puisi religiusnya, pun melakukan sembahyang. Namun sembahyang Acep adalah sembahyang khas seorang penyair sejati. Maka, Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning/Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri/Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu/Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental/Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup/Dan surauku terbakar kesunyian yang menyalakan rindu.
Bahwa Cipasung merupakan puisi paling orisinil dan bening yang dihasilkan oleh Acep dari rentan kreatif 1979-1990, percikan interior batin si penyair sebagai seorang pencinta dan seorang hamba terasa lebih intens, lebih intim. Hal tersebut dimungkinkan karena puisi ini menggunakan citraan-citraan yang diambil langsung dari lingkungan sosial dan geografi yang sudah sangat akrab dengan si penyairnya. Begitu tutur unggulan Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007 itu, seperti yang terhimpun dalam buku yang bersampul anak ayam berwarna merah.[8]
Pun Ilham Khoiri mengamini apa yang sudah diuraikan Sapardi, juga apa yang telah diungkapkan oleh Tia Setiadi. Menurut Khoiri, Acep termasuk penyair yang berkarya dengan ilham—inspirasi—dari iman atau agama. Dia membenarkan bahwa keimanan atau agama yang diyakini para penyair memperkaya bahasa ungkap mereka. Acep sendiri termasuk yang merefleksikan pengalaman keagamaan dalam diksi penuh metafor. Dalam sebuah wawancara, Acep yang lahir dan tumbuh di Cipasung, Tasikmalaya berujar, “Agama tak saya ungkapkan sebagai slogan yang permukaan, melainkan sebagai kesadaran batin yang penuh perenungan.”[9]
Apa yang diungkapkan oleh Khoiri, sama sekali tak mendestruksi apa yang sudah dikonstruksi oleh Sapardi maupun Tia Setiadi. Ketiganya, mufakat bahwa Acep “tidak gagal” dalam menggunakan “alat”nya. Utamanya dalam puisi ini. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa, keberbedaan Acep dari para penyair lain adalah kemampuannya dalam memanfaatkan alat yang dikuasainya—yaitu apa yang disebut sebagai “ayat-ayat pedusunan”—seintensif mungkin sehingga melahirkan karya yang benar-benar dapat mengundang haru, dan kata-kata yang dihasilkannya pun menjadi khas dan ungkapan-ungkapan yang tercipta merupakan pelbagai ungkapan yang segar.[10] Penyegaran inilah yang kemudian membuatnya berbinar-sinar.
IV
Di atas disinggung masalah alat yang dikuasai Acep ialah ayat-ayat pedusunan.[11] Apa “itu”? “Ayat” penulis terjemahkan sebagai kata yang memiliki makna bertalian erat dengan aroma agama. Singkatnya, “kata berkonotasi[12] agama” itulah yang disebut penulis “ayat”. Sedangkan “dusun”, dusun itu tiada lain adalah desa. Desa tempat muasal segala rasa, segala pakan, pakan untuk para pejabat negeri ini. Dari sanalah berasal beras, rasa keindahan dan kesejukan, dan kearifan lokal. “Dusun” dengan demikian, lekat dengan kesederhanaan, kemurnian, dan hamparan luas dedaunan hijau yang menyejukan raga serta memesona mata. Dalam analisis ini, “dusun” atau “pedusunan” mengacu pada “citraan alam yang identik dengan suasana penuh keindahan dan kesahajaan”. Jadi, apa “itu”? Adalah kata-kata berkonotasi agama yang dicitrakan melalui alam yang padanya identik keindahan dan kesahajaan.
Dan itulah yang tergambar dari Cipasung, walau sebenarnya Trasimeno juga tergolong, serta banyak puisi Acep yang lain, namun tetap, penulis sudah terlanjur jatuh cinta pada Cipasung. Karena penulis lebih suka monoanalisis.
Cipasung, juga pada akhirnya menjadi tempat berlabuh Acep. Sepulangnya dari Italia, Acep yang juga pelukis itu, hidup bahagia bersama Istri tercinta, Euis Nurhayati (40), beserta keempat anak, yaitu Rebana Adawiyah (19), Imana Tahira (14), Diwan Masnawi (10), dan Abraham Kindi (7) tinggal di sana. Alasan memilih Cipasung, dan tidak Jakarta atau Bandung karena, katanya, “Untuk bertahan sebagai penyair tanpa pekerjaan tetap satu-satunya jalan adalah menyederhanakan kebutuhan hidup. Dan kampunglah satu-satunya pilihan untuk hidup dengan ongkos yang murah.”[13] Dalam keterangan yang lain, yang juga berpresuposisi sama, yaitu “Di kampung dia tidak perlu memikirkan beras dan masih ada sawah yang bisa menghidupi dia dan keluarga.”
Acep Zamzam Noor ialah satu di antara banyak sastrawan yang pernah mendapatkan penghargaan sastra bergengsi tingkat Asia Tenggara, yaitu South East Asian (SEA) Write Award pada 2005. Sayang, bukan puisi Cipasung yang menghantarkannya ke sana—padahal Cipasung merupakan puisi yang memanifestasikan keberhasilan Acep dalam berpuisi—melainkan puisinya yang lain, yaitu Jalan Menuju Rumahmu, bertarikh 1986.[14] Tamparlah Mukaku! (1982), Aku Kini Doa (1986), Kasidah Sunyi (1989), Dari Kota Hujan (1996), Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbira (1999) adalah beberapa kumpulan puisi yang pernah ditulis Acep. Cipasung sendiri ada pada Kasidah Sunyi.
Sawangan, 11 Januari 2011
(Ket: Ini adalah tulisan yang disajikan sebagai tugas UTS pada mata kuliah Kajian Puisi dan sudah dipresentasikan. Haturan terima kasih saya sampaikan kepada Kang Acep Zamzam Noor, dosen Kajian Puisi saya Pak Jamal D. Rahman, M.Hum., dan kepada rekan-rekan mahasiswa PBSI yang saya kagumi atas kontribusi serta kebersamaannya.)
[1] Kedua bait ini merupakan bagian dari “Mengapa Selalu Kutulis Sajak” empunya Acep Zamzam Noor, Tamparlah Mukaku! (1980-1981) (Bandung: Adi Agung, 1982), h. 10., yang bertarikh 1981.
[2] Pada ulasan sebelumnya, Sapardi menjelaskan bahwa citraan adalah alat. Sebagai tukang yang berurusan dengan kata, penyair harus menguasai sepenuhnya seluk-beluk penggunaan alatnya. Dan alat yang dikuasai itu, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Secara eksplisit, Sapardi Djoko Damono juga menyerukan bahwa penyair yang mempergunakan alat yang bukan dikuasainya, maka yang tercipta hanyalah serangkaian pengungkapan klise yang sudah sangat sering dipergunakan orang. Penyair tidak sampai pada citraan yang terperinci, tetapi hanya garis besar yang tidak menimbulkan keharuan. Untuk selanjutnya, baca Sapardi Djoko Damono, Sihir Rendra: Permainan Makna (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 193 dan 195. Namun demikian, dapat penulis simpulkan bahwa “alat” bagi seorang penyair adalah “senjata”. Karena itu, alat benar-benar harus dikuasai oleh dia—siapapun yang ingin menjadi penyair—agar karya yang tercipta tidak hanya sebatas “kreasi kata”.
[3] Seperti yang kita tahu, bahwa tema keagamaan, pengalaman keagamaan bukanlah barang baru dalam dunia sastra kita, pun citraan pertaniaan. Karena itu, Sapardi Djoko Damono menggaris bawahi bahwa “tidak terbayangkan bahwa tema ini akan menjadi usang karena diulang-ulang.” Lengkapnya baca di h. 192.
[4] Sapardi Djoko Damono, “Pedusunan Acep,” dimuat sebagai pengantar untuk kumpulan sajak Acep Zamzam Noor, Di Luar Kata (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), kemudian dimuat kembali dalam Sapardi Djoko Damono (ibid), h. 191-197. Uraian-uraian yang diangkat dari buku yang disebut terakhir adalah utuh, kecuali sedikit telah mengalami perombakan sesuai dengan kebutuhan—dalam tulisan ini.
[5] Acep mengenal puisi sejak SMP, yaitu sekitar tahun 1970-an, informasi ini diperoleh dari Yenti Aprianti, “Acep, Mendekatkan Sastra pada Rakyat,” Kompas, 22 September 2005., h. 16., juga Acep Zamzam Noor, “Sekitar Proses Kreatif Saya,” dalam Pamusuk Eneste, ed., Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Jilid 4) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), h. 30., pada periode pertama penulisannya, Acep sangat memuja Chairil Anwar juga Amir Hamzah. Di mata Acep, Chairil adalah sosok yang dalam karyanya menyuarakan pemberontakan terhadap lingkungannya, sedangkan dari Amir, Acep terkagum pada sajak-sajaknya yang khusuk merenungi kedalaman hidup. Walau keduanya berbeda, tapi bagi Acep tak masalah, yang jelas, kedua sastrawan besar itulah yang memotivasinya untuk menulis puisi seperti halnya menjalani kehidupan (baca: Acep Zamzam Noor, h. 31)., pada nyatanya, Acep tidak bisa ke luar dan hanya mampu memberikan sapuan-sapuan cat minyak saja.
[6] Judul puisi ini, dalam Acep Zamzam Noor, Kasidah Sunyi (1986-1989) (Jakarta: Pustaka Nasiri, 1989), h. 34., ialah Cipasung (3). Di naskah asli, Acep Zamzam Noor, Padang Kesadaran: Tiga Kumpulan Puisi dalam bentuk fotokopi naskah ketikan, Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, Map B juga sama, yaitu Cipasung (3) dengan perincian, Cipasung (1) bertahun 1986, Cipasung (2) bertarikh 1987, sedangkan Cipasung (3) ditulis dua tahun berikutnya, yaitu pada 1989. Di samping itu, puisi ini pernah dimuat dalam majalah yang terbit di Bandung, yaitu Salam tahun 3 No. 01, 4-10 Agustus, 1989, h. 11, kolom 1-5. Pun demikian, puisi ini mampir pula di sisipan khusus lembaran Mastera No. 4/Agustus 2000, h. 11., dalam Horison, Agustus 2000. Puisi ini juga dimuat—tepatnya dijadikan objek analisis oleh Sapardi—dalam kumpulan puisi Di Luar Kata (1996), h. vii.
[8] Tia Setiadi, “Religiusitas dan Erotika dalam Sajak-sajak Acep Zamzam Noor,” dalam Zeen Hae, ed., Dari Zaman Citra ke Metafiksi: Bunga Rampai Telaah Sastra DKJ (Jakarta: KPG bekerja sama dengan DKJ, 2010), h. 461-480.
[9] Ilham Khoiri, “Sastra dan Agama Berkelindan,” Kompas, 22 Agustus 2010. Dalam menyuguhkan contoh, Khoiri tidak menggunakan Cipasung, melainkan puisi Acep yang lain, yaitu Trasimeno, yang intinya hampir sama dengan Cipasung, yaitu pencitraan alam sebagai alat utama untuk mengungkapkan pengalaman religius. Dengan demikian, maka ada sinonimitas sehingga apa yang dimaksudkan untuk Trasimeno, sama pula untuk Cipasung.
[10] Kaitannya dengan “kebaruan” yang selalu menjadi tolok ukur keberbedaan, Acep, dalam tulisannya yang dieditori oleh Pamusuk Eneste, mengutarakan, “Saya menyadari bahwa tak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini, dan bahkan sepertinya tak ada lagi tema yang masih tersisa. Semuanya pernah dikerjakan orang. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kreativitas, yakni dengan memberikan penyegaran pada sesuatu yang tidak baru itu. Yang membuat orang dicatat sejarah adalah karena mereka berhasil memberikan penyegaran-penyegaran yang kreatif pada tradisi puisi yang ada, sesuai dengan semangat zamannya.” Periksa di Acep Zamzam Noor (ibid), h. 35.
[11] Istilah “ayat-ayat pedusunan” telah digunakan Kang Acep dalam tulisannya, jelasnya lihat Acep Zamzam Noor (ibid), hlm. 42., lebih kurang seperti ini, “… Dan ayat-ayat pedusunan yang saya angkat itu tentu bukan hanya dari Cipasung, tapi juga dari Pangalengan, Klungkung, …” Namun, dalam tulisannya itu, Kang Acep tidak mendefinisikan hal tersebut, dimungkinkan bahwa pembaca mafhum akan apa yang dimaksudkannya. Dan istilah “pedusunan” sendiri, pertama digunakan untuk analisis puisi Kang Acep oleh Sapardi Djoko Damono, periksa di Sapardi Djoko Damono (ibid), h. 191-197., judul tulisannya sendiri “Pedusunan Acep”, dan dalam tulisan ini penulis mencoba menyajikan pemahamannya mengenai hal tersebut.
[12] “Konotasi” di sini maknanya berekuevalensi dengan “nilai rasa”. Perlu dicatat juga bahwa “konotasi agama” dimaksudkan untuk mempersempit makna “ayat”, sebab “ayat” itu sendiri sebenarnya adalah “tanda-tanda kebesaran Tuhan, wujudnya berupa alam semesta, makhluk hidup, dan segala hal.”
[13] Perkataan ini diambil dari tulisannya sendiri yang “Sekitar Proses Kreatif saya” (ibid), h. 42., sedangkan pengetahuan mengenai istri dan anak-anaknya, dapat dibaca di Kompas (ibid), dan perkataan terakhir dalam paragraf ini, didapatkan dari sumber yang sama, Kompas.
[14] Informasinya, baca di “Jalan Menuju SEA Write Award 2005”, Pikiran Rakyat, 30 Juli 2005., h. 23.
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini