First Making Love of Etaqi

First Making Love of Etaqi

Angin berbisik kapada dedaunan, dan mereka pun menari-nari tanpa lelah, upah dan patah. Dedaunan yang tua kalah, mereka harus menanggung risiko tersingkirkan dari domisilinya karena rapuh. Dan tak ada yang dapat mengubah itu, siapapun, dari manusia. Dedaunan itu memenuhi halaman kosanku, sungguh hal yang menjengkelkan. Karena pagi yang cerah terkontaminasi dengan serakan dedaunan yang, menurutku, tak seharusnya. Bahkan mawar merah yang sedang merekah pun terlihat jelek tatkala dedaunan itu memenuhi pot dan sekitarnya. Kuambil ijuk, dan kusapu bersih halaman kosanku. Rasanya lega ketika kulihat halaman ini terbebas dari sampah.

Saat pagi, halamanku tak sekotor seperti biasanya, mungkin, pikirku, dedaunan tua itu sudah habis. Tetapi, hal yang tak kuinginkan terjadi. Etaqi, seorang lelaki tampan yang beberapa hari ini lalulalang dipikiranku, termangu, sangat menyedihkan sekali aku melihatnya. Dia lusuh, wajahnya tak lagi membinarkan keceriaan. Matanya jontor, bak dipukul palu godam seribu kali. Rambutnya yang dulu memanjang lurus, membuatnya seperti tokoh anime Jepang yang mengagumkan, Naruto. Tapi kini semua itu lenyap darinya, kini dia bagai orang yang aku sendiri enggan untuk menyebutkannya.

Aku menghampirinya.

“Ada apa?” Dia bertanya padaku. Tapi nadanya seperti tak senang dengan keberadaanku. Mungkin, pikirku, terusik karena kehadiranku.

“Tak apa, aku hanya heran denganmu pagi ini.” Jawabku, meski sebenarnya aku tak mau menjawab seperti itu. Aku ingin berujar, “Etaqi, ada apa denganmu. Ada masalah, cerita padaku, aku siap mendengarkan.”

“Aku ingin sendiri.” Ucapnya pelan, tapi cukup jelas terdengar oleh telingaku.

Aku pun pergi, namun hati ini tak ingin, aku ingin ada di sampingnya, menemaninya, dan mengajaknya ngobrol. Aku berharap masa itu akan menghampiriku.

Aku masuk kamar, lalu kurebahkan badan ini di atas kasur. Masih terekam kuat dalam ingatanku ketika dia tertawa riang bersamaku. Waktu itu, ketika kami akan melakukan pendaftaran masuk Universitas Nagari, dia tersenyum manis waktu itu, dan aku membalasnya dengan senyum terindahku. Dengan rasa percaya yang mapan, aku kenalkan diriku. Aku bilang, namaku Rejuo. Dia sempat minta diulang, katanya kurang jelas. Kemudian aku mengejanya, “Re-Ju-O.” Dia tertawa terbahak tanpa memedulikan perasaanku.

“Ada apa dengan namaku? Bukan kah itu bagus, nama yang langka, dan mungkin hanya aku satu-satunya yang memakai nama itu.”

Dia masih terkekeh.

Aku pun pergi meninggalkannya, aku benci.

Aku menjadi sakit hati kalau ingat akhir dari kenangan itu. Peristiwa itu membekas dibenakku, mungkin, untuk selamanya. Tapi aku tak sakit hati lagi ketika bertemu dengannya pada hari berikutnya.

“Kenapa kau lari waktu itu?” Tanyanya tak kutanggapi. Dalam hati kecilku, aku mengakui kalau dia ingin alasan.

“Aku hanya tak enak badan, sepertinya waktu itu aku akan mual,” Dustaku padanya. Dan dia mengangguk. Tak tahu dia mengerti, kalau dia sekarang sedang kubohongi atau memang pura-pura mengerti. Tapi sudahlah, toh aku tetap memujinya sebagai lelaki tertampan yang pernah aku temui.

Hari ketika pengumuman adalah hal yang paling mendebarkan. Dan syukurku pada Tuhan, ternyata aku dan dirinya diterima. Betapa bahagianya aku. Dan kebetulan, ia sekosan denganku. Tahu takdir atau bagaimana. Yang jelas, aku bisa tiap hari melihatnya, bahkan dari terdekat sekalipun.

Hari ini cerah, sejernih diriku kini. Aku sangat senang. Bagaimana tidak, Etaqi mencuri pandang saatku mempresentasikan makalahku di depan. Bahkan dia bertanya padaku. Dengan yakin, karena sesuai dengan reverensi yang telah kubaca, aku menjawab pertanyaannya. Dan tepuk tangan pun bergemuruh.

Hal yang tak bisa kulupakan dari dirinya adalah, dia pernah datang pada mimpiku, dalam mimpiku itu, dia telanjang bulat dan memamerkan ‘anu’-nya padaku, dan menawarkannya padaku. Aku jadi ingin. Dan pada saat aku akan mencobanya, tiba-tiba kucing tetangga membangunkanku, dia mengeong-ngeong. Dan aku memukuli kucing itu, hingga mati.

“Kau pengganggu!” Hardikku. Padahal ia sudah tak bernyawa.

Malam berikutnya, aku berharap mimpi yang sama. Tapi hampir tiap malam aku tidur, mimpi itu seolah hanya harapan saja. Tapi aku tak patah arang. Malam berikutnya, aku bermimpi hal yang sama, tapi kali ini aktor utamanya bukan dia, bukan Etaqi, lain dari yang lain. Kau tahu siapa? kucing yang kupukuli hingga mati itu. Ya, dialah aktornya dan aku ingin sesegera mungkin mengakhiri semua ini, tapi tak ada yang membangunkanku barang seorangpun. Tak ada suara yang mengganggu atau kentrengan tukang bakso. Sungguh pagi yang menyebalkan. “Kau berhasil memerawaniku, kucing.” Pekikku. Dan ketika kubangun, ‘daerah’ sensitifku basah. “Sialan!” Sesalku karena telah berbuat zalim padanya.

Malam-malam berikutnya menjadi malam yang mencemaskan buatku, aku takut kalau kucing itu memintaku untuk melayaninya lagi. Bahkan suatu malam, pernah dia datang pada mimpiku, tapi aku menolaknya. Namun, dia berhasil melukaiku dengan kuku-kuku tajamnya, aku terluka dan terbangun.

Hingga suatu malam, aku meminta Etaqi supaya dia tidur di kosanku. Dan dia mau. Kini kekhawatiranku terhadap kucing itu hilang, namun ‘kucing’ yang lain menghantuiku. Tapi, untunglah Etaqi masih tahan, untuk sementara.

“Kalau aku yang mau bagaimana?” tawarku suatu malam, tapi dia, pada awalnya, menolak. Aku paksa, kataku, “Kau bukan lelaki ya?” Lanjutku, “Kau banci!” Hujamku habis-habisan, akhirnya dia menarik tanganku dan melepas bajuku. Dia begitu binal dan ganas, pikirku.

Ternyata itu hanya mimpi. Dan ketika kubuka mata, kulihat Etaqi telah menanggalkan pakaiannya. Dia tepat di sampingku.

The End

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYAT-AYAT PEDUSUNAN (Telaah Puisi "Cipasung" Karya Acep Zamzam Noor)

Sabar, Rajin Shalat, dan Tekun Beribadah merupakan Bagian dari Tujuan Pendidikan dalam Islam