Bilingual Saja Tidak Cukup
Pada saat kita menerjemahkan suatu naskah tertentu, dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, kita harus memiliki kualifikasi dan kompetensi bahasa sumber. Tapi ternyata penguasaan bahasa sumber saja tidak cukup, diperlukan kompetensi lain, yaitu mengetahui dan memahami budaya bahasa sumber tersebut.
Secara mengejutkan, ungkapan di atas mengemuka, ketika untuk kali pertamanya, penulis berkunjung ke salah satu penerbit di daerah Kemang, Jakarta. Menurut mereka, hal itu sangat urgen dan vital, karena bila hanya menguasai bahasanya saja, bisa-bisa salah menerjemahkan kata-kata tertentu, yang secara harfiah berarti "ini", padahal yang dimaksud ialah "itu".
Misalnya, masih menurut mereka, frasa katsiru ramadi (bahasa Arab). Secara harfiah, itu artinya "banyak debu", namun ternyata, yang dimaksud dengan frasa tersebut dalam budaya bahasa sumbernya bukan itu, melainkan "dermawan". Ya, jadi di samping menguasai bahasa sumber (baca: bilingual), seorang penerjemah juga haruslah menguasai budaya asal (baca: bikultural) bahasa sumber.
Secara mengejutkan, ungkapan di atas mengemuka, ketika untuk kali pertamanya, penulis berkunjung ke salah satu penerbit di daerah Kemang, Jakarta. Menurut mereka, hal itu sangat urgen dan vital, karena bila hanya menguasai bahasanya saja, bisa-bisa salah menerjemahkan kata-kata tertentu, yang secara harfiah berarti "ini", padahal yang dimaksud ialah "itu".
Misalnya, masih menurut mereka, frasa katsiru ramadi (bahasa Arab). Secara harfiah, itu artinya "banyak debu", namun ternyata, yang dimaksud dengan frasa tersebut dalam budaya bahasa sumbernya bukan itu, melainkan "dermawan". Ya, jadi di samping menguasai bahasa sumber (baca: bilingual), seorang penerjemah juga haruslah menguasai budaya asal (baca: bikultural) bahasa sumber.
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini