Setahun Sudah Batik Diakui Dunia. Introspeksi Yuk?
Setahun sudah, batik Indonesia masuk dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Secara otomatis, dengan masuknya batik ke dalam Daftar Representatif sebagai Warisan Tak Benda Manusia, itu berarti batik diakui dunia, khususnya oleh UNESCO. Sebagai negara yang menjadi rumah batik, Indonesia tentu saja bangga. Tidak sekedar itu, kita juga patut bersyukur, terutama kepada negara tetangga, siapa lagi kalau bukan Malaysia. Gara-gara sikap negara tersebut yang main embat, kita menjadi sadar akan pentingnya menjaga dan melestarikan warisan dari nenek moyang kita. Bayangkan jika negeri Jiran tersebut tidak membuat ulah? Saya meyakini, kita tidak akan sekeras itu bereaksi untuk segera mempatenkan batik sebagai bagian dari warisan leluhur bangsa kita.
Sedikit kita mengingat, bahwa tanggal 2 Oktober 2010 silam, UNESCO pada sidang IV tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi, memasukan batik ke dalam daftar representatifnya. Momentum tersebut menjadi titik awal pengakuan batik oleh kalangan internasional. Kini, tepat tanggal 2 Oktober 2011, yang berarti sudah setahun pengakuan itu kita raih, yu kita sama-sama tafakur, apakah sudah ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudahnya batik diakui dunia? Lalu bagaimana dengan nasib para perajin batik, apakah kehidupan mereka menjadi lebih baik?
Bila sebelumnya kita cuek, maka ketika ada tetangga yang ngaku-ngaku, kita ribut dan sewot marah-marahin itu tetangga. Menyalahkannya juga. Sudah begitu, kita memaki-makinya hingga ke akar-akar terdalam. Namun, coba lihat sekarang diri kita, bagaimana sikap kita? Cuek, atau bagaimana. Bila kembali cuek, sungguh tiada arti pengakuan batik tersebut. Oleh karena itu, introspeksi di sini memegang peranan yang sangat vital.
Jujur, ketika saya selalu memakai batik kala kuliah, suka saja ada yang usil, "Mau ke undangan ya?" Maksudnya apa coba. Saya sampai tak habis pikir. Kalau begini terus keadaannya, maka akan jadi bangsa apa kita ini. Dengan demikian, sikap positif dan proaktif terhadap kebudayaan sendiri perlulah ditumbuh-kembangkan. Di samping itu, mencintai batik melebihi model lainnya, amatlah wajar mengingat kita ialah tuannya batik.
Salam.
Hidup batik Indonesia!
Sedikit kita mengingat, bahwa tanggal 2 Oktober 2010 silam, UNESCO pada sidang IV tentang Warisan Budaya Tak Benda di Abu Dhabi, memasukan batik ke dalam daftar representatifnya. Momentum tersebut menjadi titik awal pengakuan batik oleh kalangan internasional. Kini, tepat tanggal 2 Oktober 2011, yang berarti sudah setahun pengakuan itu kita raih, yu kita sama-sama tafakur, apakah sudah ada perubahan perilaku antara sebelum dan sesudahnya batik diakui dunia? Lalu bagaimana dengan nasib para perajin batik, apakah kehidupan mereka menjadi lebih baik?
Bila sebelumnya kita cuek, maka ketika ada tetangga yang ngaku-ngaku, kita ribut dan sewot marah-marahin itu tetangga. Menyalahkannya juga. Sudah begitu, kita memaki-makinya hingga ke akar-akar terdalam. Namun, coba lihat sekarang diri kita, bagaimana sikap kita? Cuek, atau bagaimana. Bila kembali cuek, sungguh tiada arti pengakuan batik tersebut. Oleh karena itu, introspeksi di sini memegang peranan yang sangat vital.
Jujur, ketika saya selalu memakai batik kala kuliah, suka saja ada yang usil, "Mau ke undangan ya?" Maksudnya apa coba. Saya sampai tak habis pikir. Kalau begini terus keadaannya, maka akan jadi bangsa apa kita ini. Dengan demikian, sikap positif dan proaktif terhadap kebudayaan sendiri perlulah ditumbuh-kembangkan. Di samping itu, mencintai batik melebihi model lainnya, amatlah wajar mengingat kita ialah tuannya batik.
Salam.
Hidup batik Indonesia!
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini