Itu Penilaianku terhadap Diriku Sendiri
Mengeluh tanpa ada habisnya ialah kebodohan. Aku sadari betul pernyataan ini. Tapi apakah seperti itu, aku kira tidak jauh berbeda pendapatmu dengan aku. Baiklah, seperti ini perkaranya: aku linglung karena sehabis mengerjakan tugas, aku rasa sudah baik, lenyap tiba-tiba. Apa yang kamu rasakan. Aku merasakan goncangan yang amat dahsyat. Tapi apakah kamu kecewa. Aku menjawab dengan nada suaraku yang parau: mungkin. Ya aku sendiri tidak bisa memastikan.
Seperti kata yang kupermainkan, maka aku mempermainkan pikiranku sehingga aku sendiri tak bisa lepas kendali. Akibatnya aku memutuskan jaring sosialku demi sesuatu yang aku sendiri sulit memahaminya. Enyahlah dari pikiranku hai iblis. Tapi dia malah bercokol saja. Tanpa lelah aku kerahkan kekuatanku untuk mengalahkannya. Namun usahaku belum kelihatan ada hasilnya. Bagaimana pendapatmu. Aku rasa, kamu harus membenahi dirimu sebelum terlambat. Jawaban bagus, bahkan lebih bagus dari tidak menjawab sama sekali.
Aku akui bahwa akhir-akhir ini aku tak tentu arah. Kadang aku masih samar mana sebenarnya Barat, Timur, dan arah angin lainnya. Arah angin? Aku rasa tidak sebatas pada itu. Ideologi rasionalisme dan empirisme telah mengombang-ambing reputasiku sebagai seorang mahasiswa yang aku sendiri menilai diriku sebagai yang idealis. Namun idealis yang egois, yang kadang sulit dipahami orang lain, tapi menurutku sendiri aku jelas mengatakan apapun. Tapi entah kenapa, aku masih belum bisa dipahami banyak orang. Ah, atau aku malah yang belum bisa memahami orang. Mungkin. Namun aku sadari betul, bahwa diriku menurut aku ialah pengonsep yang baik. Itu penilaianku terhadap diriku sendiri.
berada di sepanjang Psanggrahan.
Bulan Mei, 2011. Aku yang kolaps, seperti gedung itu (lihat gambar). Seperti pula suasana hatiku saat ini: rapuh dan roboh.
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini