Mari Bersama, Kita Selamatkan PDS H.B. Jassin
Beberapa hari belakangan ini, santer berita mengenai wacana penutupan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, yang lokasinya di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) itu. Tak ketinggalan, media cetak seperti harian Kompas pun ikut bersuara. Baca saja Kompas edisi Minggu (20/3) yang menurunkan berita dengan judul “Koleksi Sastra Terancam”. Tidak hanya itu, media online pun ikut ramai membicarakan hal ini, tengok saja laman kompasiana.com yang salah satunya diposting kompasioner bernama Ajinatha, laman duniaperpustakaan.com dan laman lainya seperti detikhot.com, serta banyak lagi.
Sebagai insan Indonesia, saya melihat fenomena ini—atau tepatnya wacana mengenai penutupan PDS H.B. Jassin—sebagai suatu becana nasional di bidang literer Indonesia. Mengapa demikian? Sangat sederhana saja, bahwa dunia sastra merupakan salah satu dari kontruksi tervital sebagai ranah yang menjadi tolok ukur kemajuan peradaban suatu bangsa, manusia. Jika manusia Indonesia tidak menyadari penting adanya pusat pendokumentasian sastra, itu sama artinya tidak peduli dengan posisi strategis para pelaku sastra dalam mendinamisasikan peradaban Indonesia, yang nyata-nyata telah berkontribusi positif dalam segala aspek yang berkenaan dengan manusia Indonesia. Kontrol sosial, sebagai suatu pengabdian, satrawan adalah yang terdepan. Dan jika benar PDS H.B. Jassin ditutup, itu sama saja dengan tidak peduli sama sekali terhadap progresivitas peradaban di tanah nusantara yang kaya budaya ini, khususnya lingkaran kesusastraan Indonesia yang berakar pada tradisi tulis, literer.
Kita tahu, keterancaman eksistensi PDS H.B Jassin bukanlah karena ancaman paket BB (bom buku) yang getol saat-saat ini terjadi dipelbagai pelosok Indonesia, atau tsunami seperti di Jepang, pun bukan karena serangan bertubi-tubi dari pasukan sekutu seperti di tanah Libya sana. Melainkan karena minimnya anggaran yang dialokasikan untuk keberlangsungan “hidup” PDS H.B. Jassin dari “kantong” Pemrov DKI Jakarta. Hal ini dapat kita ketahui dari pelbagai tulisan yang di antaranya telah disebutkan. Miris rasanya. Dan tentu ini merupakan ancaman bagi mata rantai kesusastraan kita di masa depan.
Tulisan ini tak lebih dari suatu kegelisahan, dan sebagai seorang yang pernah memanfaatkan pelbagai dokumen di PDS H.B. Jassin, saya merasa betul betapa peranan dan posisinya sangatlah urgen dan strategis. Sejujurnya, ini adalah keberatan yang dalam. Tak habis pikir dan sangat ironi. Di tengah pembangunan pelbagai proyek yang bernilai miliaran rupiah, senoktah bangunan yang menyimpan warisan mahakarya kesusastraan Indonesia harus gulung tikar dan dipaksa mengail di kali yang keruh.
Adanya gerakan koin peduli PDS H.B. Jassin menjadi “pemandangan” tersendiri yang memilukan, namun langkah ini penting untuk direspon oleh segenap insan Indonesia sebagai bentuk kepedulian, sekaligus protes terhadap kalangan teras bangsa kita yang nyatanya kurang peduli pada nasib kesusastraan bangsanya. Siapa lagi kalau bukan kita. Mari bersama, kita selamatkan PDS H.B. Jassin.
Sebagai insan Indonesia, saya melihat fenomena ini—atau tepatnya wacana mengenai penutupan PDS H.B. Jassin—sebagai suatu becana nasional di bidang literer Indonesia. Mengapa demikian? Sangat sederhana saja, bahwa dunia sastra merupakan salah satu dari kontruksi tervital sebagai ranah yang menjadi tolok ukur kemajuan peradaban suatu bangsa, manusia. Jika manusia Indonesia tidak menyadari penting adanya pusat pendokumentasian sastra, itu sama artinya tidak peduli dengan posisi strategis para pelaku sastra dalam mendinamisasikan peradaban Indonesia, yang nyata-nyata telah berkontribusi positif dalam segala aspek yang berkenaan dengan manusia Indonesia. Kontrol sosial, sebagai suatu pengabdian, satrawan adalah yang terdepan. Dan jika benar PDS H.B. Jassin ditutup, itu sama saja dengan tidak peduli sama sekali terhadap progresivitas peradaban di tanah nusantara yang kaya budaya ini, khususnya lingkaran kesusastraan Indonesia yang berakar pada tradisi tulis, literer.
Kita tahu, keterancaman eksistensi PDS H.B Jassin bukanlah karena ancaman paket BB (bom buku) yang getol saat-saat ini terjadi dipelbagai pelosok Indonesia, atau tsunami seperti di Jepang, pun bukan karena serangan bertubi-tubi dari pasukan sekutu seperti di tanah Libya sana. Melainkan karena minimnya anggaran yang dialokasikan untuk keberlangsungan “hidup” PDS H.B. Jassin dari “kantong” Pemrov DKI Jakarta. Hal ini dapat kita ketahui dari pelbagai tulisan yang di antaranya telah disebutkan. Miris rasanya. Dan tentu ini merupakan ancaman bagi mata rantai kesusastraan kita di masa depan.
Tulisan ini tak lebih dari suatu kegelisahan, dan sebagai seorang yang pernah memanfaatkan pelbagai dokumen di PDS H.B. Jassin, saya merasa betul betapa peranan dan posisinya sangatlah urgen dan strategis. Sejujurnya, ini adalah keberatan yang dalam. Tak habis pikir dan sangat ironi. Di tengah pembangunan pelbagai proyek yang bernilai miliaran rupiah, senoktah bangunan yang menyimpan warisan mahakarya kesusastraan Indonesia harus gulung tikar dan dipaksa mengail di kali yang keruh.
Adanya gerakan koin peduli PDS H.B. Jassin menjadi “pemandangan” tersendiri yang memilukan, namun langkah ini penting untuk direspon oleh segenap insan Indonesia sebagai bentuk kepedulian, sekaligus protes terhadap kalangan teras bangsa kita yang nyatanya kurang peduli pada nasib kesusastraan bangsanya. Siapa lagi kalau bukan kita. Mari bersama, kita selamatkan PDS H.B. Jassin.
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini