Nggak Bu, Yah, Hanya Saja ...
Dia bertanya padaku, "Kenapa Kamu gak lirik aku?" Aku gak memedulikannya, dia terus saja mengecoh. Hem, aku lebih baik memerhatikan dia yang di depan, yang rambutnya berurai panjang, pesonanya benar-benar, matanya yang indah itu seolah melirikku juga. "Cantik benar." Pikirku, lanjutku, "Seandainya dia yang kini di sampingku."
Jam 6 pagi kemarin, saat hujan masih tetap ngotot turun, aku melangkah ke trotoar, menyimpan jejak-jejakku di setiap incinya. Aku memang diriku. Langit menangis, sesungguhnya hatiku bahagia, karena kupunya teman sejati yang tiada pandang basah, dibasahinya. Oh, air, aku bukan kamu. Seandainya aku adalah kamu, kan kubasahi dia yang kemarin itu, yang rambutnya terurai panjang, indah melambai saat angin menyapunya. Memesona.
Ruangan ini dingin, sedingin dan sebasah pakaian yang kukenakan. "Aku tak peduli," ujarku padaku. Dia datang, dia bukan yang berurai rambutnya, dia yang kemarin bilang, "Kenapa kamu gak lirik aku?" Dalam benakku, aku menebak, pasti dia akan bertanya hal yang sama, dan benar, dia berkata lagi begini, "Lirik aku apa barang sebentar?!" Sekali lagi, aku tak memedulikannya. Aku mengebal.
Dedaunan mulai manja, dan angin, meraung-raung, dia kangen. Sesaat kubaringkan tubuh ini, kubaringkan pula hapeku di meja imut itu, selang beberapa detik, hapeku bunyi, dia berteriak, "Ada telepon!" Kuangkat, dan dia lagi, "Kamu kenapa sih ke aku kaya gitu?" Dan kulempar saja hape itu, langsung, bunyi-bunyi kaki menghampiri kamarku, mereka mengetuk pintuku, "Ada apa Raf, mimpi buruk?" Mereka orangtuaku, "Nggak Bu, Yah, hanya aja ..." Tiba-tiba suaraku, ...
Dan semuanya menjadi cerah ...
Maafku teman, sahabatmu ini penuh keluh, kurang,
Maaf butuhmu tak kupenuh, percaya: ALL IZ WELL
Sumber gambar: http://dzulfikar.wordpress.com/2008/02/19/teori-kesadaran-cahaya-batin/
BalasHapus