Lamaran itu Datang juga
“Jangan, nanti saja.” Kataku, dengan nada manja.
“Ya udah.” Katanya sambil lalu. Dan aku tetap mengharap dia akan kembali dan mengajakku. Tapi, kulihat dia tak menengokkan lagi kepalanya. Aku sadar sepenuhnya bahwa ini adalah kesalahanku. Ibarat istilah, tak ada kesempatan yang kedua kalinya.
Sore ini, aku sendiri lagi. Tak seperti biasanya, dia selalu datang dan mengajakku jalan-jalan. Sepenuhnya kuingat peristiwa kemarin. Dia menatapku manja, saat itu, benar-benar dia sangat romantis. Dia mengajakku jalan, tapi aku tampik. Hatiku sebenarnya tak seirama dengan mulutku. Aku hanya bosan mendengar bisikan tetanggaku yang selalu dengan penuh curiga memandangku. Mereka, di belakangku, membicarakan dia dan aku yang suka jalan sore. Padahal kami tak berbuat lebih, atau setidaknya tak berbuat apa yang sangkakan.
“Ngelamun saja?” Tiba-tiba, ibuku datang dan membelaiku. Aku mengangguk saat itu, dan kukatakan, “Nggak, Bu. Hanya saja, kusendiri, tak ada teman yang datang.”
Ibuku mengerlikan matanya, lalu berujar, “Cah lanang yang anaknya Sukmadi itu?”
Aku tersipu malu saat ibu menyebut itu. Dia lalu berkata, “Ibu mengharap dapat menggendong cucu, kapan ya?”
Saat kata-kata itu terdengar telingaku, hatiku terasa perih, dan seolah bersalah. Diusiaku yang duapuluh enam tahun ini, aku belum dapat hidup seranjang dengan pasanganku. Aku lalu mengembara, pikiranku. Aku memandang alam yang bak permadani, hijau sekali. Ah Tuhan, nikmat apalagi yang kami ingkari. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahakuasa.
Cah lanang yang ibu ceritakan kemarin datang, dia beserta temannya, dan aku tak tahu apa maksud semua ini. Dalam hati, aku hanya dapat menebak-nebak, “Mungkin mereka akan membicarakan hal serius dengan kedua orangtuaku.” Tapi aku sendiri tak tahu apa yang akan mereka bicarakan. Aku tetap memperhatikan mereka yang sekarang sudah berada duduk di kursi tamu. Berhadap-hadapan. Dia yang kusukai, yang kuperhatikan.
“Lani, sini.” Tiba-tiba saja, ayahku memanggil. Entah kenapa, jantungku berdekup kencang. Langkahku pun seolah gontai, seperti akan mendapat kabar yang tak kusangka-sangka. “Sini, nak. Duduklah. Nak Halim ingin bicara padamu.” Ujar ayah, sambil mempersilahkanku duduk tepat di samping ibuku. Aku tak berkata.
“Nah, nak Halim. Sekarang anak bapak satu-satunya ini sudah ada di sini. Silahkanlah bicara dengannya.” Ayahku, bersuara, berat. Kulihat raut mukanya sangat tak biasa.
“Lisma, maukah kau menjadi pendamping hidupku?” Kata dia, yang kuperhatikan sejak tadi. Aku diam. Deg-degan.
“Gimana, nak? Kau terima atau tidak. Nak Halim menunggu.” Ibuku, dengan kebijaksanaannya, mengingatkanku untuk bersegera memberi jawaban. Kulihat, ayah juga menatapku tajam. Lebih kurang, tatapan itu berarti, “Berkatalah sesuai dengan hati nuranimu. Berikan jawaban segera.”
Aku tak berkata, aku mengangguk saja. Tiba-tiba, ayah menangis dan memeluk Halim. “Sebentar lagi kauakan jadi menantuku, nak.” Katanya, sambil erat memeluk Halim, calon suamiku.
Sawangan, Desember 2010.
“Ya udah.” Katanya sambil lalu. Dan aku tetap mengharap dia akan kembali dan mengajakku. Tapi, kulihat dia tak menengokkan lagi kepalanya. Aku sadar sepenuhnya bahwa ini adalah kesalahanku. Ibarat istilah, tak ada kesempatan yang kedua kalinya.
Sore ini, aku sendiri lagi. Tak seperti biasanya, dia selalu datang dan mengajakku jalan-jalan. Sepenuhnya kuingat peristiwa kemarin. Dia menatapku manja, saat itu, benar-benar dia sangat romantis. Dia mengajakku jalan, tapi aku tampik. Hatiku sebenarnya tak seirama dengan mulutku. Aku hanya bosan mendengar bisikan tetanggaku yang selalu dengan penuh curiga memandangku. Mereka, di belakangku, membicarakan dia dan aku yang suka jalan sore. Padahal kami tak berbuat lebih, atau setidaknya tak berbuat apa yang sangkakan.
“Ngelamun saja?” Tiba-tiba, ibuku datang dan membelaiku. Aku mengangguk saat itu, dan kukatakan, “Nggak, Bu. Hanya saja, kusendiri, tak ada teman yang datang.”
Ibuku mengerlikan matanya, lalu berujar, “Cah lanang yang anaknya Sukmadi itu?”
Aku tersipu malu saat ibu menyebut itu. Dia lalu berkata, “Ibu mengharap dapat menggendong cucu, kapan ya?”
Saat kata-kata itu terdengar telingaku, hatiku terasa perih, dan seolah bersalah. Diusiaku yang duapuluh enam tahun ini, aku belum dapat hidup seranjang dengan pasanganku. Aku lalu mengembara, pikiranku. Aku memandang alam yang bak permadani, hijau sekali. Ah Tuhan, nikmat apalagi yang kami ingkari. Sesungguhnya Engkaulah yang Mahakuasa.
Cah lanang yang ibu ceritakan kemarin datang, dia beserta temannya, dan aku tak tahu apa maksud semua ini. Dalam hati, aku hanya dapat menebak-nebak, “Mungkin mereka akan membicarakan hal serius dengan kedua orangtuaku.” Tapi aku sendiri tak tahu apa yang akan mereka bicarakan. Aku tetap memperhatikan mereka yang sekarang sudah berada duduk di kursi tamu. Berhadap-hadapan. Dia yang kusukai, yang kuperhatikan.
“Lani, sini.” Tiba-tiba saja, ayahku memanggil. Entah kenapa, jantungku berdekup kencang. Langkahku pun seolah gontai, seperti akan mendapat kabar yang tak kusangka-sangka. “Sini, nak. Duduklah. Nak Halim ingin bicara padamu.” Ujar ayah, sambil mempersilahkanku duduk tepat di samping ibuku. Aku tak berkata.
“Nah, nak Halim. Sekarang anak bapak satu-satunya ini sudah ada di sini. Silahkanlah bicara dengannya.” Ayahku, bersuara, berat. Kulihat raut mukanya sangat tak biasa.
“Lisma, maukah kau menjadi pendamping hidupku?” Kata dia, yang kuperhatikan sejak tadi. Aku diam. Deg-degan.
“Gimana, nak? Kau terima atau tidak. Nak Halim menunggu.” Ibuku, dengan kebijaksanaannya, mengingatkanku untuk bersegera memberi jawaban. Kulihat, ayah juga menatapku tajam. Lebih kurang, tatapan itu berarti, “Berkatalah sesuai dengan hati nuranimu. Berikan jawaban segera.”
Aku tak berkata, aku mengangguk saja. Tiba-tiba, ayah menangis dan memeluk Halim. “Sebentar lagi kauakan jadi menantuku, nak.” Katanya, sambil erat memeluk Halim, calon suamiku.
Sawangan, Desember 2010.
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini