Malas, No!

"Kenapa kumalas?" Pertanyaan sepele itu, kusambar saja langsung, "Kamu itu tidak malas!" Dan dia, kulihat masih menyernyitkan kening, "Ucapanmu sendiri yang buat malas. Tahu?" Lanjutku, ingin tetap yakinkan dia, kalau sesungguhnya kemalasan itu bukan timbul dari diri, tapi diciptakan: diciptakan oleh ucapan kita sendiri yang sering berkata "Aku malas". Sehingga, respon saraf, respon hati, respon gerak tubuh, menjadi padu dan sepakat untuk membangun "imperium malas".

Lalu, aku bercerita pada dedaunan sore yang kekuningan itu, kulantangkan pada dahan-dahannya, "Dulu, aku adalah seorang yang malas, malas ini itu: malas baca, malas ke mana juga, malas ngobrol, malas jalan, malas mengerjakan tugas; malas apa-apa." Kumenghela napas, lalu kukeluarkan dengan perlahan, "Tapi kini dan selanjutnya, aku tak lagi malas, karena malas itu buat sengsara, buat tidak sukses, malas itu biang bencana, biang kemelut, biang lara, malas itu buat kita gak kreatif, buat kita gak bisa apa-apa." Kesadaran-kesadaran itu kubangun, dan terus kubangun, menciptakan aliansi yang kuat, hingga mampu memberikan tatanan baru pada perisai diri.

Definisi malas yang demikian, kemudian melahirkan konsensus baru dalam diri bahwa, malas itu direkonstruksi, karena itu, maka malas bisa pula didestruksi. Upaya destruksitas terhadap malas, memang tidak semudah merekonstruksinya. Namun, saya tuliskan sekali lagi, bahwa ketika kita mudah membangun puing-puing kemalasan, sesungguhnya juga sangat mudah meluluhlantahkannya. Coba saja praktikan!

Cara yang paling efektif, yang pernah direalisasikan, adalah lima langkah berikut. Pertama, paradigma malas dalam diri harus dipersepsikan sebagai suatu yang mereduksi kreativitas, keingintahuan, dan kemajuan diri. Bila step pertama ini berhasil dilalui, maka akan timbul kesadaran bahwa "malas sesungguhnya yang membuat kita tidak kreatif, tidak memiliki keingintahuan yang tinggi, juga malas membuat kita menjadi mundur, ketinggalan kereta.
Pun malas membuat kita dipenuhi pikiran-pikiran kolot, yang berdampak pada kestagnasian yang utuh dalam diri." Bila kesadaran tersebut telah diraih, maka akan berkorelasi positif dengan dampaknya, yaitu dia menjadi bersemangat: belajar hingga menggapai prestasi tertinggi, meraih hidup yang lebih baik, berpikiran positif terhadap kenyataan, melihat realitas dengan lebih realistis dan rasional, juga melihat ladang hidup sebagai suatu pencapaian akan asa dan cita, dll.

Kedua, bersahabat dengan wangi akan wangi, bersahabat dengan bau akan baunya pun terbawa. Tahap kedua ini, merefleksikan bahwa orang terdekat dengan kita berpengaruh besar terhadap perilaku kita dalam keseharian, termasuk perilaku batin kita. Malas adalah laku lampah batin yang diaktualisasikan oleh gerak badan kita yang menunjukkan ketidakmauan terhadap aktivitas apapun di dalam kehidupan. Ketika kita punya teman yang malas, maka malasnya teman kita akan menular. Bagai virus flu burung, ia merambah dari satu kawasan ke kawasan lainnya yang ada di belahan dunia dengan cepat. Dengan demikian, memilah teman adalah hal yang urgen dan sensitif. Karena itu, ketika kita memutuskan suatu hubungan dengan teman yang malas, jangan pernah berkata, "Aku gak mau temanan sama kamu, kamu orangnya malas." Juga jangan berujar, "Aku berteman dengan kamu, karena kamu orangnya rajin."

Ketiga, katakan, "Dulu aku malas, sekarang dan selanjutnya tidak lagi." Perkataan demikian, seperti sepele, tapi efeknya luar biasa. Bagaimana tidak luar biasa? Di saat malas menduduki kursi ketinggiannya, kita seret ke bawah, kita paksa ia untuk turun, dengan berkata lantang, "Kau tak pantas lagi menduduki singgasana itu, kau terlalu buruk." Dalam tahap ini, optimisme dan rasa percaya diri mulai mendapat posisinya yang strategis dalam diri. Sehingga ia mendapat prioritas dan suksesi yang laik, yaitu suksesi dari malas ke rajin. Mengapa? Karena asasinya, malas dan rajin adalah dua saudara kembar yang memiliki tabiat yang kontradiktif satu sama lain. Keempat, sugesti diri secara kontinu dan konsisten, "Aku tidak lagi malas." Asupan saran terhadap diri, kebutuhannya laksana karbohidrat pada tubuh kita. Tubuh tanpa karbohidrat akan lemas, lemah, dan tidak kuat untuk melakukan aktivitas apa juga, di samping sangat mudah terkena penyakit. Halnya diri juga sama, ketika keadaan diri kita rentang terhadap "penyakit" maka salah satu cara untuk menangkalnya adalah dengan cara "mencegah lebih baik daripada mengobati", yaitu memberi "asupan gizi" yang cukup, dalam hal ini adalah sugesti. Cara hipnotis diri, bila dilakukan secara berkelanjutan dan tetap, akan membuahkan sesuatu yang kita inginkan.

Kelima, dia bisa kenapa aku tidak. Inilah yang kemudian menjadi penyadaran diri paling tinggi, ketika seorang sudah merasa bahwa dirinya juga bisa, maka apapun hadangan yang ada di depannya, akan didepak dengan rasa optimis yang tinggi dan percaya diri yang membuncah, suatu ego positif yang akhirnya akan menjadi familier dalam diri. Tahap ini, biasanya timbul ketika membaca kisah-kisah orang sukses, atau mendengar bahwa dia telah meraih kejuaraan ini dan kejuaraan itu, intinya: kisah inspiratif. Oleh karena itu, sangat direkomendasikan untuk membaca pelbagai buku berkenaan dengan orang-orang besar, juga melihat tayangan televisi yang menyiarkan pelbagai kisah inspiratif.

Kulihat kini, dedaunan kuning itu, tumbuh diujungnya daun-daun hijau yang mengkilap, dan dahan-dahan itu, kulihat sekarang rimbun dengan ranting-ranting muda yang dominan. Waktu kian sore, tapi daun dan ranting itu, tak merasa sore, mereka makin merasa muda. Dalam riangnya hati, kubisikan, "Jangan lupa, besok pagi." Mereka tersenyum, dan aku bangga.

Salam,
@aangar




Catatan: Sebelumnya tulisan ini sudah pernah terbit, dengan judul "Kamu Tidak Malas..."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYAT-AYAT PEDUSUNAN (Telaah Puisi "Cipasung" Karya Acep Zamzam Noor)

First Making Love of Etaqi

Sabar, Rajin Shalat, dan Tekun Beribadah merupakan Bagian dari Tujuan Pendidikan dalam Islam