Bicara Gampang, yang Susah itu Praktiknya (?)

Perbincangan di halte dengan karib lama membuahkan hasil yang tak diduga. Memang bukan di tempat mewah atau di resto terkenal perbincangan kami itu, tapi hanya di pinggir jalan raya, yang akrab dengan debu dan desing kendaraan bermotor. Namun, seolah hal itu tidak ada saja saking asyiknya kami mengobrol. Kami merasa ada di dunia lain yang serba lentur, fleksibel. Juga bebas berekspresi tanpa harus diganggu bising-bising yang ruwet itu.

“Orang yang sering bilang ‘bicara gampang, yang susah itu praktiknya’ adalah dia yang punya mentalitas buruk.” Katanya, membuka perbincangan. Tapi saya tak sahuti, biarkan saja dulu teman saya itu ungkapkan apa yang ingin diluapkannya. Tapi selama beberapa menit saya tunggui dia untuk “berkicau” lagi ternyata masih diam. Dalam pikir saya, mungkin dia ingin ada respon dulu dari saya.

“Maksudnya?” Lalu saya lanjutkan, “Kukira jarang orang tidak pernah berkata-kata demikian.” Dan ternyata benar, setelah saya lontarkan tanggapan gaya puitik itu, dia langsung nyahut bak ikan dikasih pelet.

“Nah itu dia,” cerocosnya dengan semangat, “Itulah mentalitas orang kita, pada jelek. Kena sindir saja kebakar jenggotnya minta ampun. Apalagi kena sihir, kena sindir saja sudah begitu.” Lalu dia jeda, “Maksud hatikan sebenarnya kita ingin koreksi dia, ya sama jugalah kita juga butuh dikoreksi. Nama orang hidup, kalau gak diperhatiin sesama ya sama siapa lagi?” Dan dia melanjutkan, “Harusnya dikritik itu bangga, tanda orang maju loh itu. Ya kalau gak mau diperhatiin, sudah saja hidup di hutan sana, sama monyet sekalian.” Kelakarnya diiringi tawa ringan.

Saya nyengir saja. Juga sekali-kali tertawa simpul. Tapi kemudian saya berujar pula, “Pertanyaanku belum kaujawab.”

“Yang mana?” Katanya dengan nada seperti mencari-cari pertanyaan saya yang hilang di benaknya. Bola matanya menengok ke atas sebelah kanan.

“Yang ‘maksudnya?’ itu.” Ujar saya, mengingatkan.

“Ouh, yang itu. Baiklah …”

Lalu dia membeberkan apa yang menjadi pertanyaan saya, lebih kurang, pertanyaannya itu, bila diinterpretasikan, seperti ini: Mengapa orang yang sering bilang ‘bicara gampang, yang susah itu praktiknya’ disebut dia yang punya mentalitas buruk?

“Yang sering bicara seperti ini, jangan tersinggung. Saya punya tiga alasan mengapa orang tersebut dikatakan demikian. Pertama, statemen tadi hanya digunakan orang ketika dirinya merasa “terdesak”, kalah debat, atau posisi kurang menguntungkan dalam dirinya. Untuk menyelamatkan “mukanya”, maka orang tersebut sering berujar demikian. Jadi, apakah orang yang sering mengatakan kalimat itu adalah dia yang punya mentalitas baik?

“Itu baru satu, bukti atau alasan yang kedua, bahwa yang berkata demikian adalah dia yang memiliki perangai negatif. Adalah kalimat tersebut, secara substansial menyatakan, “Saya tidak mampu!” Berat ketika saya harus mengambil simpulan yang kedua ini, tapi apa, ya itu adalah kenyataan. Lihat saja dalam keseharian, orang yang berkata kalimat demikian adalah dia yang cenderung statis, orangnya diam, dan psimistis, melihat masa depan itu dengan kesuraman. Madesu negatif: masa depan suram. Atau, dia secara tersirat mengatakan, “Saya mungkin mampu, hanya tak pernah saya mencobanya.” Inilah yang kemudian harus dikritisi, bahwa memang, orang yang sering bicara demikian perlu disadarkan dirinya bahwa sebenarnya dia sebagai manusia telah diberikan bekal untuk melakukan apapun oleh Tuhan. Tinggal bagaimana dia mengoperasionalkan daya yang diberikan itu. Dan beban itu tiada yang berat, karena Tuhan selalu memberi takaran beban itu proposional untuk setiap manusia. 

“Ketiga, orang yang berkata demikian adalah dia yang tidak memiliki rasa percaya diri yang cukup, pinplan, dan lebih banyak menggantungkan dirinya kepada orang lain. Kadang selalu berharap kepada orang lain untuk berbuat lebih, sementara dirinya hanya diam, tanpa bisa berkontribusi ataupun melakukan tindakan yang diperlukan. Lihatlah diri kita, apakah kita termasuk yang demikian?

“Jika ya, maka cepat-cepatlah kembali ke jalan yang lurus, sesungguhnya jalan yang lurus itulah yang diridhaiNya. Caranya, dengan membangun kesadaran diri bahwa Tuhan adalah yang Mahabaik sehingga apa yang dianugerahkanNya kepada kita murni untuk kita gunakan demi kesejahteraan diri di dunia dan akhirat. Maka, segala usaha yang mengarah ke sana, wajib mengoperasionalkan apa yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Ya tubuh ini, otak ini, dan lainnya. Jangan sekali-kali memanja diri kita, toh pada akhirnya kita akan kembali kepada tanah, iya kan, dikubur-kubur juga. Kita akan kembali pada asal kita, tanah, jadi sekali lagi, jangan pernah secara berlebih “mendiamkan” diri sehingga malas untuk melakukan apapun juga. Nyata, penyesalan selalu ada di ujung perjalanan, jarang sekali sesal adanya dipangkal. Namun sebenarnya tidak akan kita temui sesal itu apabila kita sudah mengantisipasinya dengan melakukan hal ihwal alternatif dan kesungguhan dalam berbuat, disertai doa, usaha atau ikhtiar optimal, dan tawakal.” Katanya, dengan penuh gelora. “Gimana?” Tanyanya padaku.

Aku tak berkata apa-apa. Aku memicingkan mata kananku, walau demikian aku menyetujui gagasannya. Aku berharap termasuk dia yang mau mengoperasinalkan daya dan potensi yang diberikan Tuhan. Aku percaya, segala usaha itu tak ada yang sia-sia. Hal mentalitas, semoga tak termasuk mentalitas buruk yang digambarkan temanku. Mentalitas diri harus dibangun sedari awal yang di arahkan pada kebaikan, kebaikan, dan kebaikan yang memberi kebaikan. Semangat!

Halte pinggir jalan, Desember 2010.

Komentar

Posting Komentar

sematkan komentar di blog ini

Postingan populer dari blog ini

AYAT-AYAT PEDUSUNAN (Telaah Puisi "Cipasung" Karya Acep Zamzam Noor)

First Making Love of Etaqi

Sabar, Rajin Shalat, dan Tekun Beribadah merupakan Bagian dari Tujuan Pendidikan dalam Islam