Sisi Mata Uang Persahabatan (6): PERSAINGAN
Saya bahagia ketika mengetahui bahwa teman saya mendapat nilai terbaik pada semester 4, buru-buru, saya mengucapkan selamat, sekaligus juga mengapresiasi atas apa yang diraihnya kini. Padahal saya, dalam batin, bergejolak dan bertanya-tanya. Kapan saya dapat seperti dia? Asumsi bahwa "kalau orang lain saja bisa, pasti kamu pun bisa!" Menjadi pengobat, plus motivasi bagi saya untuk terus memelihara semangat berprestasi dan tetap konsisten untuk melakukan yang terbaik demi ketercapaian nilai yang diinginkan.
Sebetulnya, saya pun bersyukur atas perolehan nilai di semester 4 yang lumayan baik itu. Tetapi, saya belum puas, dan saya tetap merasa haus untuk terus, terus, lagi, dan terus lagi belajar.
Realitasnya, kini saya menganggap dia sebagai pesaing yang andal. Tak hanya dia, tapi semua adalah sama: pesaing. Tentu pesaing dalam belajar untuk menggapai prestasi yang setinggi-tingginya, bukan dalam hal lain.
Yang kami, khususnya yang saya jalankan adalah persaingan yang sehat, yang dilandasi semangat untuk maju, dalam hal pemikiran, implementasi ilmu dan pengetahuan, serta maju dalam kualitas insani yang mapan. Pun saya sadari bahwa untuk menggapai itu memerlukan waktu maksimal, usaha optimal, dan kesungguhan final. Dan saya tahu, bahwa ketiga komponen itu telah dicapai secara klimaks oleh sahabat saya tadi.
Inti dari pernyataan di atas adalah, bahwa antarteman itu ternyata ada yang dinamakan PERSAINGAN/KOMPETISI. Namun, konsepsi dari persaingan itu sendiri tak terpaku pada suatu paradigma yang mutlak, melainkan ia bersifat fleksibel, karena kompetisi itu tidak selalu sehat, ataupun sehat seterusnya. Keduanya saling mengisi dan mengontrol, sehingga jalannya persaingan antarteman selalu terfilter oleh rasa persahabatan yang hangat lagi menyenangkan.
Persaingan antarsahabat itu menjadi sehat kala kondisinya memungkinkan untuk itu. Misalnya keduanya kuliah, keduanya pada-pada memiliki pekerjaan, atau keduanya merupakan insan terpandang, maka memapahnya persaingan di antara mereka pastilah mendukung untuk ke hal yang positif. Berbeda ketika yang satu kerja, yang lainnya masih menyandang tunakarya. Atau teman yang lain sudah menempuh pendidikan tinggi, dan sekawan satu lagi, masih tetap diam di rumah, tanpa dapat meneruskan ke jenjang yang lebih atas. Maka yang terjadi pastilah inversi dari contoh yang sebelumnya, yaitu ketidaksehatan dalam berlangsungnya persaingan.
Lalu bagaimana dengan persaingan yang ditimbulkan oleh opini bahwa, menurut dia, kamu cerdas sehingga sangat wajar bila meraih prestasi. Dan lagi, menurut dia, kamu kurang memadai dari segi kecakapan dalam berpikir sehingga akan mengalami kesulitan kala berhadapan dengan mereka yang dinilai cukup, sangat mampu dengan cepat mencerna apa yang dijelaskan oleh guru, dosennya?
Dalam sebuah diskusi, saya pernah kemukakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecerdasan yang sama, bahwa manusia diberi kapasitas yang sama dalam hal akal, otak, ilmu, dan pengetahuan. Namun, semua komponen tersebut akan bekerja dan optimalitasnya akan digapai, jika mau dan rela secara sadar untuk mendayagunakan akal dan otak, serta tak lelah untuk terus mau menambah ilmu dan pengetahuan melalui iqro: membaca, menelaah, menganalisis, merenungi, memikirkan, dan mengapresiasi atas apa yang disediakan oleh Tuhan (dan ciptaanNya) sebagai sarana untuk meningkatkan kedua hal tersebut.
Menulis lepas, mendengarkan penjelasan dengan saksama, dan mengerjakan setiap tugas yang ada merupakan wahana yang memfasilitasi kita untuk cerdas, cekatan, dan peka terhadap kemajuan ilmu. Karena itu, mari kita lakukan reformasi belajar. Agar persaingan yang ada: persaingan yang positif.
Dengan demikian, kondisi yang memungkinkan terjadi atau tidaknya suatu kebagusan, kejelekan, atau keseimbangan antara dua atau lebih person/badan untuk menggapai suatu cita disebut sebagai kompetisi. Ini berarti, syarat persaingan harus lebih dari sama dengan dua orang. Bila hanya seorang, maka persaingan tidak akan ada. Persaingan, tentu memiliki dampak yang signifius bagi pribadi-pribadi yang menjadi tokoh dalam kompetisi. Di antaranya adalah semangat untuk menjadi nomor satu atau sukses timbul dan terus tumbuh seiring ketat atau longgarnya persaingan, mempererat rasa saling memiliki kompetensi antarsahabat, mendayagunakan potensi yang telah dianugerahkanNya, memberdayakan secara optimal-kontinuitas semua sifat asal (fitrah) manusia (baca: dalam bersaing itu haruslah jujur, bersih, dan tidak dibuat-buat, yang dilandasi keimanan kepadaNya), dan menjadikan kedewasaan peserta kompetisi terpupuk subur yang melahirkan insan-insan yang legowo, tepa salira, dan bertanggung jawab.
Depok, 02 Juni 2010
Sebetulnya, saya pun bersyukur atas perolehan nilai di semester 4 yang lumayan baik itu. Tetapi, saya belum puas, dan saya tetap merasa haus untuk terus, terus, lagi, dan terus lagi belajar.
Realitasnya, kini saya menganggap dia sebagai pesaing yang andal. Tak hanya dia, tapi semua adalah sama: pesaing. Tentu pesaing dalam belajar untuk menggapai prestasi yang setinggi-tingginya, bukan dalam hal lain.
Yang kami, khususnya yang saya jalankan adalah persaingan yang sehat, yang dilandasi semangat untuk maju, dalam hal pemikiran, implementasi ilmu dan pengetahuan, serta maju dalam kualitas insani yang mapan. Pun saya sadari bahwa untuk menggapai itu memerlukan waktu maksimal, usaha optimal, dan kesungguhan final. Dan saya tahu, bahwa ketiga komponen itu telah dicapai secara klimaks oleh sahabat saya tadi.
Inti dari pernyataan di atas adalah, bahwa antarteman itu ternyata ada yang dinamakan PERSAINGAN/KOMPETISI. Namun, konsepsi dari persaingan itu sendiri tak terpaku pada suatu paradigma yang mutlak, melainkan ia bersifat fleksibel, karena kompetisi itu tidak selalu sehat, ataupun sehat seterusnya. Keduanya saling mengisi dan mengontrol, sehingga jalannya persaingan antarteman selalu terfilter oleh rasa persahabatan yang hangat lagi menyenangkan.
Persaingan antarsahabat itu menjadi sehat kala kondisinya memungkinkan untuk itu. Misalnya keduanya kuliah, keduanya pada-pada memiliki pekerjaan, atau keduanya merupakan insan terpandang, maka memapahnya persaingan di antara mereka pastilah mendukung untuk ke hal yang positif. Berbeda ketika yang satu kerja, yang lainnya masih menyandang tunakarya. Atau teman yang lain sudah menempuh pendidikan tinggi, dan sekawan satu lagi, masih tetap diam di rumah, tanpa dapat meneruskan ke jenjang yang lebih atas. Maka yang terjadi pastilah inversi dari contoh yang sebelumnya, yaitu ketidaksehatan dalam berlangsungnya persaingan.
Lalu bagaimana dengan persaingan yang ditimbulkan oleh opini bahwa, menurut dia, kamu cerdas sehingga sangat wajar bila meraih prestasi. Dan lagi, menurut dia, kamu kurang memadai dari segi kecakapan dalam berpikir sehingga akan mengalami kesulitan kala berhadapan dengan mereka yang dinilai cukup, sangat mampu dengan cepat mencerna apa yang dijelaskan oleh guru, dosennya?
Dalam sebuah diskusi, saya pernah kemukakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki kecerdasan yang sama, bahwa manusia diberi kapasitas yang sama dalam hal akal, otak, ilmu, dan pengetahuan. Namun, semua komponen tersebut akan bekerja dan optimalitasnya akan digapai, jika mau dan rela secara sadar untuk mendayagunakan akal dan otak, serta tak lelah untuk terus mau menambah ilmu dan pengetahuan melalui iqro: membaca, menelaah, menganalisis, merenungi, memikirkan, dan mengapresiasi atas apa yang disediakan oleh Tuhan (dan ciptaanNya) sebagai sarana untuk meningkatkan kedua hal tersebut.
Menulis lepas, mendengarkan penjelasan dengan saksama, dan mengerjakan setiap tugas yang ada merupakan wahana yang memfasilitasi kita untuk cerdas, cekatan, dan peka terhadap kemajuan ilmu. Karena itu, mari kita lakukan reformasi belajar. Agar persaingan yang ada: persaingan yang positif.
Dengan demikian, kondisi yang memungkinkan terjadi atau tidaknya suatu kebagusan, kejelekan, atau keseimbangan antara dua atau lebih person/badan untuk menggapai suatu cita disebut sebagai kompetisi. Ini berarti, syarat persaingan harus lebih dari sama dengan dua orang. Bila hanya seorang, maka persaingan tidak akan ada. Persaingan, tentu memiliki dampak yang signifius bagi pribadi-pribadi yang menjadi tokoh dalam kompetisi. Di antaranya adalah semangat untuk menjadi nomor satu atau sukses timbul dan terus tumbuh seiring ketat atau longgarnya persaingan, mempererat rasa saling memiliki kompetensi antarsahabat, mendayagunakan potensi yang telah dianugerahkanNya, memberdayakan secara optimal-kontinuitas semua sifat asal (fitrah) manusia (baca: dalam bersaing itu haruslah jujur, bersih, dan tidak dibuat-buat, yang dilandasi keimanan kepadaNya), dan menjadikan kedewasaan peserta kompetisi terpupuk subur yang melahirkan insan-insan yang legowo, tepa salira, dan bertanggung jawab.
Depok, 02 Juni 2010
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini