Sisi Mata Uang Persahabatan (5): PRASANGKA BURUK

Kenapa? Kenapa tidak prasangka saja yang lebih netral? Atau prasangka baik? Negative thinking?! Mengapa itu yang terjadi?


Ketika memutuskan untuk mengangkat “prasangka” saja tanpa embel-embel “baik”/”buruk”. Saya sangsi. Pasalnya, sangat sulit untuk tidak berprasangka buruk kepada teman. Walaupun sudah susah payah ingin berprasangka baik kepadanya, tapi tetap saja, hati tidak dapat dibohongi. Hati tetap saja bilang, “Ini gara-gara dia.” Yang berarti suudzan. Maksudnya, bahwa prasangka buruk selalu menempati posisi pertama lagi utama. Entah disebabkan oleh apa. Namun yang jelas, hampir menyerang siapapun. Tak terkecuali.

Hal ihwal orang yang baik pun, walau ia mengetahui ilmunya, bahwa berprasangka baik lebih utama, tetap saja yang terlintas pertama kali itu yang “buruk”. Apakah ini berarti bahwa prasangka buruk telah melembaga? Jawabannya, mari kita simak fenomena berikut.

Tayangan televisi Indonesia, hampir setiap hari atau bahkan setiap hari (tanpa “hampir”), tayangan yang berbau prasangka buruk (gosip) menghiasi bak hitam dalam gulitanya malam. Dan itu disukai oleh sebagian besar masyarakat kita, yang kontra kepadanya hanyalah noktah kecil saja, minoritas. Dengan demikian, asumsi kita sekarang sudah mencapai klimaksnya, prasangka buruk mendapat preposisi yang “istimewa” di kalangan para pegiat pertelevisian Indonesia.

Lalu, seberapa besar porsi prasangka buruk dalam persahabatan? Porsinya itu tergantung kepada beberapa hal. Ada banyak hal yang menyebabkan kenapa kita harus berprasangka kepada teman. Karena selalu saja ada alasan ketika jadwal ketemuan sudah ditentukan tapi dia datang terlambat tanpa didahului kata “maaf”, karena kita sensi terhadapnya, selalu memandangnya salah disebabkan ia pernah melakukan kesalahan kepada kita satu kali, atau bagi kita dia tidak ada apa-apanya, merasa tersaingi, atau dia berperilaku dominan dalam keburukan.

Dengan kata lain, negative thinking itu sulit untuk dilebur dari memori kita, utamanya terhadap teman. Tapi sebenarnya ada upaya yang dapat kita lakukan agar gejala itu dapat ditekan tumbuh kembangnya. Pertama, ada niat untuk menurunkan tingkat prasangka buruk itu (untuk meleburnya sama sekali sifat itu, hal yang sangat sulit bahkan imposibel, walau posibel paling kecil masih dapat dikatakan ada. Mengapa? Unsur tanah dalam diri seseorang itu tidak mungkin dapat dihilangkan dari dirinya). Kedua, kita harus menyadari bahwa asasinya manusia tidaklah ada yang terbebas dari cacat (fisik/psikis/agama), dengan kesadaran itu, maka negative thinking dapat diminimalisasi. Ketiga, bahwa bila kita berada di posisinya mungkin akan melakukan hal yang sama, sehingga tak perlulah kita menjust orang itu salah selalu, sedang kita benar terus.



Ketiga cara pandang di atas, setidaknya akan membantun untuk menekan prosentase prasangka dalam diri kita. Walau cara lain masih mungkin dapat dilakukan.

Mengapa kemudian prasangka dibedakan dengan kecurigaan? Ada alasan prinsipal mengapa keduanya tidak disamaratakan. Yang utamanya adalah, dalam KECURIGAAN tidak ada KECURIGAAN BAIK, atau KECURIGAAN BURUK. Yang namanya KECURIGAAN murni nilainya NEGATIF. Sedangkan dalam PRASANGKA, itu terdapat POSITIF dan NEGATIF. Dua kutub yang tidak terdapat di KECURIGAAN. Oleh karena itu, maka keduanya memiliki karakter tersendiri yang khas (kecurigaan lebih general, sedangkan prasangka itu ada pengklasifikasian, spesifik), yang berarti maknanya juga berlainan.

Prasangka buruk pada dasarnya adalah akar dari fundamentalitas mental seorang teman yang selalu tak dapat melihat dengan bijaksana realitas dan mengesampingkan hakikat dirinya. Konklusi ini tentu saja tidak ngasal. Mengapa kemudian dikatakan sebagai fundamentalitas mental? Karena perilaku, tingkah polah, budi pekerti, dedikasi akhlaknya yang dasar, yang paling murni tidak dapat melihat kenyataan hidup sebagai kenyataan hidup yang multidimensi dan kompleks. Sehingga apabila dia tidak arif dalam menyikapi realitas yang sebenarnya maka prasangka buruk pastilah menjadi makanan sehari-harinya. Dan mengesampingkan hakikat hidupnya berarti dia tidak mengindahnya keberadaan dirinya yang sebenarnya serba kekurangan, serba diberi, serba pinjam dari Yang Kuasa. Hingga lupa akan dirinya, dan prasangka terhadap sesama menjadi dominasi yang tak terelakan dari dirinya terhadap orang lain.

Sahabat, bagaimana juga adalah manusia seperti kita. Hargailah keputusannya, tabiatnya, tingkah rasa, dan laku lampahnya sebagai keberagaman ciptaNya. Dengan demikian, prasangka buruk menjadi teranulir. Semoga!

Depok, 02 Juli 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYAT-AYAT PEDUSUNAN (Telaah Puisi "Cipasung" Karya Acep Zamzam Noor)

First Making Love of Etaqi

Sabar, Rajin Shalat, dan Tekun Beribadah merupakan Bagian dari Tujuan Pendidikan dalam Islam