Simponi Dedaunan
Sayang,
mengapa merdumu begitu syahdu dalam gendang telingaku.
Mengalun, laksana laut yang meresonansi lambaian dedaunan kelapa.
Sayang,
merdumu membuatku rindu. Membuatku gairah meretas.
Bak gitar yg menyanyi, yg selalu bergeming, merindu telinga, siapapun.
Sayang,
tubuhku menggigil, bergetar mendengar suaramu yg merona. Merayu denyut, dan asaku meronta memonas. Em, hampir saja.
Bagaikan naga hangat, memangsa keenakan makanan, memuaskan panas dlm duri yg ganas.
Sayang,
aku merindu suamu, ut kujadikan sozis lezat dlm rahang telingaku. Ah, terasa kini adamu mengulur mundur dlm masaku.
Seperti pepohonan yg menari-nari, bersimponi didebur banyu.
Depok, 14 Agustus 2010
mengapa merdumu begitu syahdu dalam gendang telingaku.
Mengalun, laksana laut yang meresonansi lambaian dedaunan kelapa.
Sayang,
merdumu membuatku rindu. Membuatku gairah meretas.
Bak gitar yg menyanyi, yg selalu bergeming, merindu telinga, siapapun.
Sayang,
tubuhku menggigil, bergetar mendengar suaramu yg merona. Merayu denyut, dan asaku meronta memonas. Em, hampir saja.
Bagaikan naga hangat, memangsa keenakan makanan, memuaskan panas dlm duri yg ganas.
Sayang,
aku merindu suamu, ut kujadikan sozis lezat dlm rahang telingaku. Ah, terasa kini adamu mengulur mundur dlm masaku.
Seperti pepohonan yg menari-nari, bersimponi didebur banyu.
Depok, 14 Agustus 2010
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini