Multiagama dan Masalah Toleransi

Kita akui bahwa multietnik, budaya, utamanya agama di Indonesia itu adalah hal yang mustahil untuk diingkari. Historitas Indonesia, membuktikan bahwa eksistensi negara ini disebabkan, salah satunya, keberagaman. Oleh karena itu, masalah tertentu yang berbau diskriminasi dan dikotomi kebijakan, akan senantiasa menjadi tajuk utama di negara majemuk. Lalu, apa sebaiknya sikap dari masing-masing?

Awal kemerdekaan Indonesia, banyak para pemikir dan cendikiawan yang mengkultuskan perihal "toleransi", dan kedudukannya menjadi sangat penting waktu itu untuk mempertahankan keberadaan Indonesia agar tetap "utuh". Yang kemudian, toleransi ini diinterperetasi oleh masyarakat, berbeda-beda. Setidaknya, tiga. Tafsiran pertama adalah masyarakat yang mengartikan toleransi secara total, yang kedua toleransi semitotal, dan ketiga adalah masyarakat yang memahami toleransi secara terbatas, sederhana.

Masyarakat pertama rata-ratanya adalah mereka yang memiliki pemikiran rasionalistik leberalis. Dengan menganggap bahwa, toleransi melingkupi segalanya, tanpa ada filter dan limit. Walau mereka sendiri, yang berpendapat itu, tidak melakukannya, akan tetapi ketika ada suatu masalah yang berkenaan dengan masyarakat tertentu: menuruti ritual agama yang satu pada satu kesempatan dan pada lain kesempatan mengikuti ritual agama yang lainnya. Mereka bersua dan mendukungnya, dengan dalih: asal hati tidak ikut, hanya sekedar jasad saja tidak menjadi masalah.

Kedua, toleransi semitotal. Mayoritas masyarakat yang berpikir moderat adalah kebanyakan yang memahami toleransi jenis ini. Dengan dalil, bahwa pada hakikinya, manusia yang satu dengan yang lain oleh sang Pembuat diciptakan berbeda, dan keberbedaan itu oleh sang Pencipta dimaksudkan agar manusia saling mengenal dan mentoleransi satu sama lain. Dengan menjalankan agama masing-masing, tanpa interpensi dan intimidasi. Istilahnya, untukku agamaku dan untukmu agamamu.

Toleransi terbatas, biasanya menghinggapi masyarakat yang acuh tak acuh. Dan rata-rata mereka tidak mau ambil pusing, dengan demikian, bagi mereka ada atau tiadanya "toleransi" tidak begitu penting, sehingga memaknai toleransi, terbatas hanya pada pemahaman demikian.

Jadi, sebaiknya sikap kita adalah yang "pertengahan", bagaimanapun, masalah toleransi bila dipahami secara total, dengan mengabaikan hal-hal pokok, kurang baik, apalagi toleransi yang sederhana. Sangat apatis sekali bila kita harus bersikap demikian di tengah keberagaman yang nyata.

Harapan kita, semoga negara ini utuh adanya, damai antarumat beragama, dan saling memahami serta menghormati satu dengan yang lainnya.

27 Mei 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

AYAT-AYAT PEDUSUNAN (Telaah Puisi "Cipasung" Karya Acep Zamzam Noor)

First Making Love of Etaqi

Sabar, Rajin Shalat, dan Tekun Beribadah merupakan Bagian dari Tujuan Pendidikan dalam Islam