Insiden di Telepon
"Kak, bantu aku"
"Ada apa memang?"
"Mamah,"
"Ya, kenapa dengan Mamah."
"Denganku tak bermasalah, ini dengan temanku, aku gak enak sama dia Kak, karena Mamah kasar bicaranya, hingga tak tahan aku melihat temanku menangis, gara-gara Mamah bilang, 'Jangan deketin dia lagi,' Padahal, selama ini yang menolongku dia Kak. Pas nelpon itu, temenku ada di sampingku, ya otomatis dia denger, gimana donk, Kak. Tolongin, sedangkan aku suka nginep di rumahnya, dan kalo ada apa-apa aku juga suka minta tolong ma dia dan dia pasti siap tuk penuhi segalanya."
"Ya, trus."
"Pada suatu ketika, saat aku gak punya uang sama sekali, dia mau bantu aku. Bahkan saat SPPku harus dilunasi cepat, dia rela tak bayar SPPnya secara penuh demi aku, Kak. Dan pada saat aku sakit pun, dia yang pertama khawatir padaku, sampai aku harus beberapa hari dirawat di rumahnya, makan, dan aku diperlakukanya sebagai saudara, sebagai anak dari mereka, padahal aku tak tahu siapa mereka, hanya anaknya yang deket ma aku, mereka menjadi begitu sangat baik."
"Ya udah, nanti Kak telepon Mamah, ya, tenang ja, sekarang sebaiknya istirahat dulu saja, tenangkan pikiran dan cobalah tuk tak panik, ya."
Kemudian, aku telpon Mamah, tapi tak ada jawaban, aku mencoba berulang, sampai akhirnya aku berhasil.
"Mah?"
"Ya, kenapa lagi, kapan libur, di sini ada yang nikahan, mang Mamat."
"Ouh, Waktunya kapan, Mah?"
"Besok, mo hadir?"
"Ya, Mah, semoga saja."
"Ada apa nelpon,"
"Gini, Mah. Itu, masalah dia."
"Bilang apa memang dia padamu?"
"Ya, hanya bilang kalau Mamah kasar pada temennya."
"Lagian, dia lebih memilih temannya daripada Mamah, gimana mo gak kesel. Ada apa-apa, bukannya ke Mamah dulu malah memilih si itu. Kan ke Mamahnya juga jengkel,"
Lau terdiam sesaat.
"Pokoknya kalo dia masih mentingin temennya itu, ya lebih baik seperti ini. Mamah gak suka kalau anak Mamah ngadon sukanya di rumah orang. Biarin dia, jangan kau bela."
"Tapi Mah, dia kan adik aku, anak Mamah."
"Iya, tapi dia beda dengan kamu."
"Mah."
"Apa?"
"Kalau dia pulang nanti jangan dimarahin ya?"
"Ya, tergantung nanti."
"Jangan."
"Ya, tergantung."
"Ya udah, nanti dia kan suruh pulang."
Tuut tuut tuut
28 Mei 2010
"Ada apa memang?"
"Mamah,"
"Ya, kenapa dengan Mamah."
"Denganku tak bermasalah, ini dengan temanku, aku gak enak sama dia Kak, karena Mamah kasar bicaranya, hingga tak tahan aku melihat temanku menangis, gara-gara Mamah bilang, 'Jangan deketin dia lagi,' Padahal, selama ini yang menolongku dia Kak. Pas nelpon itu, temenku ada di sampingku, ya otomatis dia denger, gimana donk, Kak. Tolongin, sedangkan aku suka nginep di rumahnya, dan kalo ada apa-apa aku juga suka minta tolong ma dia dan dia pasti siap tuk penuhi segalanya."
"Ya, trus."
"Pada suatu ketika, saat aku gak punya uang sama sekali, dia mau bantu aku. Bahkan saat SPPku harus dilunasi cepat, dia rela tak bayar SPPnya secara penuh demi aku, Kak. Dan pada saat aku sakit pun, dia yang pertama khawatir padaku, sampai aku harus beberapa hari dirawat di rumahnya, makan, dan aku diperlakukanya sebagai saudara, sebagai anak dari mereka, padahal aku tak tahu siapa mereka, hanya anaknya yang deket ma aku, mereka menjadi begitu sangat baik."
"Ya udah, nanti Kak telepon Mamah, ya, tenang ja, sekarang sebaiknya istirahat dulu saja, tenangkan pikiran dan cobalah tuk tak panik, ya."
Kemudian, aku telpon Mamah, tapi tak ada jawaban, aku mencoba berulang, sampai akhirnya aku berhasil.
"Mah?"
"Ya, kenapa lagi, kapan libur, di sini ada yang nikahan, mang Mamat."
"Ouh, Waktunya kapan, Mah?"
"Besok, mo hadir?"
"Ya, Mah, semoga saja."
"Ada apa nelpon,"
"Gini, Mah. Itu, masalah dia."
"Bilang apa memang dia padamu?"
"Ya, hanya bilang kalau Mamah kasar pada temennya."
"Lagian, dia lebih memilih temannya daripada Mamah, gimana mo gak kesel. Ada apa-apa, bukannya ke Mamah dulu malah memilih si itu. Kan ke Mamahnya juga jengkel,"
Lau terdiam sesaat.
"Pokoknya kalo dia masih mentingin temennya itu, ya lebih baik seperti ini. Mamah gak suka kalau anak Mamah ngadon sukanya di rumah orang. Biarin dia, jangan kau bela."
"Tapi Mah, dia kan adik aku, anak Mamah."
"Iya, tapi dia beda dengan kamu."
"Mah."
"Apa?"
"Kalau dia pulang nanti jangan dimarahin ya?"
"Ya, tergantung nanti."
"Jangan."
"Ya, tergantung."
"Ya udah, nanti dia kan suruh pulang."
Tuut tuut tuut
28 Mei 2010
Komentar
Posting Komentar
sematkan komentar di blog ini