Cerpen: "Jaring-Jaring Merah" karya Helvy Tiana Rosa
Photo by Tim Marshall on Unsplash Apakah kehidupan itu? Cut Dini, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup adalah cabikan luka. Serpihan tanpa makna. Hari-hari yang meranggas lara. Ya, sebab aku hanya bisa memendam amarah. Bukan, bukan pada rembulan yang mengikutiku saat ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal sebatas luka. Seperti juga hidup itu. Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan sepanjang tiga kilometer dari Seurueke, menuju Buket Tangkurak , bebukitan penuh belukar dan pepohonan ini. Dadaku telah amat sesak, tetapi langkahku makin kupercepat. Lolong anjing malam bersahut-sahutan, seiring darah yang terus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai. “Ugh!” Aku tersandung gundukan tanah. Dalam remang malam, kulihat dua ekor anjing hutan mengorek-ngorek sesuatu, dan pergi sambil menyeret potongan mayat manusia. Mereka menatapku seolah aku ak